Tantangan di masa krisis saat ini semakin mendera Indonesia. Bagaimana tidak? Berbagai persoalan yang dihadapi selain wabah COVID-19 juga keadaan ekonomi yang semakin tidak pasti. Akhir-akhir ini, suasana sosial kita terusik dengan perilaku pemegang kebijakan yang kontradiktif dengan fakta yang ada di lapangan.
Tepat tiga hari yang lalu, Senin (5/10) Omnibus Law RUU Cipta Kerja resmi disahkan sebagai Undang-Undang yang menuai banyak reaksi tanggapan dari berbagai pihak. Karena, dipandang tidak berpihak pada buruh. Selain itu, menurut ahli Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, menilai Omnibus Law RUU Cipta Kerja terdapat kecacatan dari sisi materiil, mulai dari proses, metode, maupun substansinya.
Di awal Omnibus Law RUU Cipta Kerja telah menuai banyak kritik baik dari kalangan masyarakat umum sampai pada kalangan para elit politisi karena dianggap lebih berpihak pada kepentingan pebisnis dibandingkan kepentingan rakyat. Namun, terlepas dari persoalan itu yang menjadi latar belakang adanya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja tersebut sebenarnya para elit negara merasa resah dengan kondisi pertumbuhan ekonomi yang terus stagnan serta sulit untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap).
Pemerintah Indonesia kemudian berimajinasi untuk jangka panjang kedepan, bahwa rancangan Omnibus Law RUU Cipta Kerja merupakan salah satu bentuk upaya untuk meningkatkan investasi. Sehingga diharapkan nantinya mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang kemudian berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi. Tidak hanya itu, pemerintah juga ingin menuju negara yang berpendapatan tinggi dan sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia.
Berdasarkan Proyeksi Bappenas (2019) menunjukkan bahwa terdapat skenario optimis terhadap beberapa indikator ekonomi seperti pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang mampu mencapai 5,1% - 5,7% per tahun, PDB per kapita nya pada tahun 2045 ditargetkan tembus sebesar USD 19.794 – USD 23.199, dan Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai peringkat ke 5 di dunia serta mampu keluar dari (middle income trap) pada tahun 2036.
Wajar jika kita memberikan apresiasi atas maksud dan tujuan proyeksi pemerintah tersebut hingga harus terburu-buru mensahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Namun, nalar kita terusik untuk mencoba lebih memahami secara holistik atas harapan pemerintah. Indikator output atau pertumbuhan ekonomi yang lazim dan mudah kita gunakan adalah Produk Domestik Bruto (PDB) yang disimbolkan variabel Y, komponenya meliputi dari Y = C + I + G + (X-M).
Berdasarkan Badan Statistik Indonesia 2017, sejauh ini di negara kita pada variabel konsumsi (C) atau yang mudah kita pahami sebagai daya beli masyarakat atau pendapatan yang bisa dibelanjakan itu ternyata merupakan variabel yang mempengaruhi pertumbuhan terbesar, sumbangsihnya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 57,3%. Pada variabel pengeluaran pemerintah (G) misalnya, menunjukkan sumbangsih sebesar 9,1%, sedangkan Investasi (I) hanya berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi (PDB) sebesar 32,4%, dan terakhir variabel selisih dari ekspor impor (X-M) sebesar 1,2%.
Apabila pemerintah ingin mendorong pertumbuhan ekonomi (Y) lebih besar maka seyogyanya melalui konsumsi (C) atau daya beli tadi. Namun akan amat sulit untuk saat ini karena daya beli tidak mampu meningkat pesat bahkan pengangguran yang masih cukup tinggi. Kita bisa mengamati selama pandemi COVID-19 sampai menunggu vaksin terdistribusi, aktivitas masyarakat dirumahkan sehingga sebagian besar masyarakat menengah bawah kehilangan pekerjaan yang berdampak pada menurunya daya beli. Strategi pemerintah sudah efektif diantaranya pemberian jaminan sosial berupa bantuan langsung tunai (BLT).
Lanjut, jika kita hendak mendorong pertumbuhan ekonomi (Y) melalui pengeluaran pemerintah (G), tentu tidak bisa dikarenakan anggaran belanja sebagai pengeluaran pemerintah melalui pajak (T). Sedangkan selama pandemi saat ini pemerintah memberikan bantuan kepada masyarakat dengan menunda atau menangguhkan pembayaran pajak sebagai bagian dari strategi di masa pandemi, dan saat ini negara kita masih mengalami defisit anggaran meskipun telah diatur dalam UU bahwa angka defisit tidak boleh melebihi tiga persen.
Kemudian pada aspek ekspor (X), negara kita masih sulit karena ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas mentah yang fluktuatif harganya terhadap harga global apalagi dengan ketidakpastian pasar global di masa pandemi saat ini. Pemerintah tentu perlu memberi stimulus sehingga pasar kita mampu menjadikan barang mentah yang memberikan nilai tambah. Pada aspek impor (M) Indonesia masih inelastis, untuk memenuhi kebutuhan masih sangat bergantung pada impor, rasanya tidak mungkin untuk mengurangi impor.
Satu-satunya jalan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (PDB) tersisa investasi (I). Masuknya para investor di Indonesia dalam jangka panjang diharapkan mampu mendorong tumbuhnya lapangan kerja sehingga mampu menggerakan perekonomian lebih leluasa. Mudahnya, investasi mempunyai multiplier effect yang sangat besar. Pertanyaanya, apakah investasi di Indonesia sangat kurang atau bermasalah? Apakah investasi mendesak guna mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia sehingga mampu keluar dari middle income trap dan depresi ekonomi?
Sebelumnya kita melihat di media yang beredar, yaitu Omnibus Law berangkat dari sulitnya melakukan investasi di Indonesia. Karena terdapat regulasi yang masih disharmonis atau perizinan yang berbelit bahkan tumpang tindih antara aturan perundangan pemerintah pusat dan daerah yang kerap kali menjadi penghambat masuknya investasi. Sektor migas misalnya, untuk berinvestasi harus melalui lebih dari 200 perizinan. Untuk bisa memulai bisnis seperti aspek regulasi amdal prosesnya membutuhkan waktu sekitar 1-2 tahun lamanya.
Menurut data Kemenkumham per-januari 2020 terdapat 8.451 peraturan pusat dan 15.965 peraturan daerah yang banyak terjadi tumpang tindih. Jika kita melihat peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) misalnya, World Bank menyebutkan saat ini posisi Indonesia berada di urutan 73 dunia. Sementara posisi pertama ditempati oleh Selandia Baru dan urutan kedua diikuti oleh Singapura.
Kesimpulannya, Apakah regulasi yang paling utama dalam hal penyebab menghambatnya investasi dan bisnis? Ternyata tidak demikian, riset World Economic Forum (2017) menunjukkan bahwa justru korupsi merupakan kendala utama, disusul oleh inefisiensi birokrasi, akses keuangan, infrastruktur yang tidak memadai serta instabilitas pemerintahan. Berdasarkan riset tersebut pertanyaanya, apakah dalam draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja disebutkan untuk memberantas korupsi? Tidak. Apakah ada jaminan tidak terjadi korupsi lagi? Tidak juga. Bahkan yang ada Indonesia mengalami kemunduran yang nyata melalui UU No. 19 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU 30 tahun 2002 yang melemahkan KPK.
Di masa pandemi yang membuat nature atau state of the world sehingga memaksa kita berada pada norma baru. Juga diikuti pengambilan keputusan yang terus bergerak pada keseimbangan baru. Kita berharap seluruh elemen negara dalam mengambil keputusan dan bersikap secara rasional guna perbaikan sistem kelembagaan di segala bidang baik ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya. Tidak hanya itu, kita juga berharap tentunya perbaikan pada aspek aturan main (rule of the games), aturan formal dan informal serta organisasi (players) yang mengimplementasikan aturan main itu sendiri.
0 komentar