“Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkokoh kemauan, serta memperhalus perasaan” (Tan Malaka).
Bagaimana kabarmu lur? Jangan lupa jaga kesehatan, tetap konsolidasi, pastikan terjun aksi, tapi jangan anarkis, ajak kawan-kawanmu, serta pastikan, #jegalsampaigagal Omnibuslaw. Demikian seharusnya anak muda, mereka bukan akademisi menara gading yang bercokol di ruang sejuk belaka, mereka adalah intelektual cum aktivis yang berani menginterupsi kekuasaan, meskipun panas-panasan.
Masih panas di telinga kita surat edaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Dirjen Pendidikan Tinggi yang mengeluarkan himbauan agar mahasiswa tak menggelar aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja. Setidaknya dalam surat edaran itu, mengenai UU Cipta Kerja dipoin 4-6 surat tersebut menyatakan:
4. Menghimbau para mahasiswa/i untuk tidak turut serta dalam kegiatan demonstrasi/unjuk rasa/ penyampaian aspirasi yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan para mahasiswa/i di masa pandemi ini.
5. Membantu mensosialisasikan isi UU Cipta Kerja dan mendorong kajian-kajian akademis obyektif atas UU tersebut. Hasil pemikiran dan aspirasi dari kampus hendaknya disampaikan kepada Pemerintah maupun DPR melalui mekanisme yang ada dengan cara-cara yang santun.
6. Menginstruksikan para dosen untuk senantiasa mendorong mahasiswa melakukan kegiatan intelektual dalam mengkritisi UU Cipta Kerja, maupun produk kebijakan lainnya dan tidak memprovokasi mahasiswa untuk mengikuti /mengadakan kegiatan demonstrasi/unjuk rasa/penyampaian aspirasi yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan para mahasiswa/i.
Ajaib, sikap tersebut diedarkan secara tidak malu-malu, percaya diri dan seolah-olah tidak ada masalah di dalamnya. Sontak edaran tersebut dikecam dari soal subtansi hingga bahkan pada tata bahasa surat. Tetapi demikian memang harusnya, surat tersebut kacau dari isi sampai tata bahasa. Kemendikbud perlu kembali training administrasi.
Tetapi sungguh saya tidak ingin mengkritisi itu, sebetulnya saya ingin mengamati kekacauan Kemendikbud, dari kekacauan nalar hingga kacau kebijakan. Ini penting melihat institusi ini diharapkan menjadi lembaga paling perhatian pada upaya pencerdasan anak bangsa, khusus dalam soal pro kontra Omnibuslaw ini.
Bagaimana Kemendikbud Merusak Kita?
Satu hal yang tampaknya kita setujui bersama adalah bahwa kekacauan publik yang terjadi akhir-akhir ini merupakan buah dari penyelenggaraan pendidikan yang sia-sia (jika tidak ingin dikatakan tidak berguna). Anehnya, perumus UU Cilaka itu adalah orang terpelajar. Tetapi memang tak semua terpelajar adalah terdidik. Mereka anak bangsa yang terpelajar tapi tidak terdidik.
Rumusan UU Omnibuslaw telah nyata ditolak oleh para intelektual di negeri ini. Kemendikbud menolak kajian akademis intelektual, malah mengeluarkan sikap untuk tidak terlibat dalam protes. Sungguh itu bukan tabiat pendidikan. Pada bagian awal tadi telah dikutip pernyataan tokoh pendidikan nasional, Tan Malaka “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkokoh kemauan, serta memperhalus perasaan”. Kita harus cerdas, mau menginterupsi keadaan, dan peka terhadap rakyat yang ditindas oleh hukum yang semberono dan ugal-ugalan.
Pendidikan kita dirusak oleh Kemendikbud melalui upaya untuk menonaktifkan peran intelektual sebagai agen kritik. Maka serupa binatang peliharaan, ia menghimbau kita untuk tenang di rumah sambil negara ini diobok-obok oleh pemerintah yang sekali lagi, terpelajar tapi tidak terdidik. Sebuah pengkhianatan intelektual.
Mereka adalah pembohong, membuka narasi pendidikan kritis tetapi menutup keran kritik para intelektual. Padahal kritis adalah buah dari praktik kritisme dalam realitas praktis, persinggungan dengan keadaan, refleksi atas masalah sosial. Demonstrasi misal, adalah praktik pendidikan kritis yang memang harus diselenggarakan demi terciptanya intelektual kritis.
Mereka membuka gagagasan pendidikan demokrasi sambil menutup demokrasi pendidikan. Melalui himbauan untuk mensosialisasikan UU yang sudah nyata buruknya itu, pula himbauan untuk tidak terlibat dalam aksi.
Padahal, pendidikan demokrasi hanya bisa terealisasi melalui praktik demokratis dalam wujud kebebasan berpendapat. Pendidikan kita memang sedang dalam kacau-kacaunya, ketimbang melahirkan individu pengubah, praktik pendidikan malah berkehendak melahirkan manusia yang patuh pada kekuasaan belaka. Ini adalah pembodohan dalam pendidikan.
Belajar di Jalanan :
Tidak ada sikap yang paling terang saat ini selain menolak Omnibuslaw. Kita harus belajar kali ini, di jalan, melalui teriakan tajam kepada pemerintah, dan propaganda pada masyarakat untuk melawan pendidikan pembodohan.
Maka ramai-ramai mari ajak kawan-kerabat, sekolah jalanan menanti mahasiswa dan pelajar yang hendak belajar pula mempraktikkan kritisme. Tetapi ingat, bukan tabiat seorang terdidik yang berdemonstrasi dengan ucapan umpatan yang bertabiat amoral. Menentang moralitas jangan sampai dengan tindakan-tindakan amoral.
Mahasiswa Kedokteran, mari praktikkan peranmu sebagai tim kesehatan, mahasiswa Hukum mari realisasikan pengetahuanmu dengan pendampingan pada yang dikriminalisasi aparat, Mahasiswa Agama Islam ayo pastikan bahwa nalar keagamaanmu termaterialisasi dalam wujud perlawan pada kedzaliman. Di atas semua itu, jadilah mahasiswa yang sebenar-benarnya, seorang yang “Angkat tangan” mengkritisi kebijakan yang menentang kemanusiaan.
0 komentar