Telah mendapat pengakuan dari dunia ilmiah, bahwa istilah dekonstruksi berasal dari Jaques Derrida (1930-2004). Derrida sebagaimana juga Heidegger dan Levinas, banyak memberi komentar dan kritik kepada hampir seluruh tradisi Filsafat Barat. Dengan komentar dan kritiknya; Derrida menyuguhkan teks-teks baru, menyusun teks sendiri dan membongkar teks lain. Prosedur inilah yang disebut Derrida dengan “Dekonstruksi”.
Konvensi tentang aturan-aturan bahasa yang dianut oleh kaum strukturalis, oleh Derrida disebut sebagai mistifikasi. Ia mengemukakan bahwa menjadikan kebudayaan Barat sebagi pusat, sudah tidak relevan karena yang ada sekarang adalah relasi antar kebudayaan.
Karena pemikiran inilah Derrida, bersama: Michel Foucault, J. Lacan, dan Lyotard, disebut sebagai tokoh-tokoh Poststrukturalis. Dalam tradisi strukturalis, si penulis dianggap lebih dominan dari pembaca, sedangkan dalam tradisi Poststrukturalis justru pembacalah yang lebih dominan daripada penulis. Oleh karena itu yang menjadi titik tolak kaum Poststrukturalis, adalah: tulisan (teks).
Menurut Jonathan Culler, dekonstruksi sesungguhnya telah dilakukan oleh Nietzsche, ketika ia melakukan pembalikan kronologis atas prinsip kausalitas, dan moral sebagaimana yang ia kemukakan dalam bukunya The Will to Power (Kehendak untuk Berkuasa).
Namun, dekonstruksi atas kausalitasnya, berbeda dengan yang dikemukakan David Hume. Kausalitas adalah prinsip dasar yang diterima begitu saja sebagai hukum dalam setiap kejadian di alam semesta. Hal ini yang membuat kita selalu berfikir bahwa setiap kejadian pasti ada sebabnya serta penyebab pasti mendahului akibat.
Bagi Nietzche, kronologi kausalitas itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang terberi dan secara esensial melekat dalam peristiwa atau gejala alam. Kausalitas merupakan produk operasi retorika bahasa, sebagai satu bentuk metonimi.
Misalkan, seorang merasa sakit kepala, lalu ia mencari penyebabnya, dan ia dapatkan penyebabnya akibat tertusuk jarum. Jadi, tertusuk jarum mendahului sakit kepala. Akan tetapi bisa juga dikatakan bahwa sakit kepala datang lebih dulu, baru setelah itu kita mencari penyebabnya.
Dengan demikian, susunan sebab-akibat bisa dibalik menjadi akibat-sebab, dan begitu seterusnya. Di dalam seni, misalkan seni tari, bahwa Tari Bedoyo itu seni (tari) atau mitos? Tari Bedoyo itu merupakan seni tapi tidak dapat lepas dari legitimasi mitos tentang Ratu Kidul, keduanya tidak dapat dipisahkan. Yang menjadi persoalan lebih didahulukan yang mana antara Tari dengan Mitos?
Derrida dan kaum Nietzschean, beranggapan bahwa setiap teks bersifat retorik. Maksudnya, setiap teks mengandung makna persuasif yang tersembunyi. Jadi, metafor atau unsur fiktif dianggap sebagai figur dasar dalam setiap teks.
Dengan demikian, pluralitas makna pada setiap teks merupakan dasar untuk menggugat tiap maksud yang diterapkan pada kata itu. Itulah dekonstruksi. Jadi, dekonstruksi adalah penafsiran sistamatik yang menuju pada kesimpulan akhir yang tertutup.
Istilah dekonstruksi dari Derrida, sekarang telah berkembang menjadi istilah filsafat dalam posisi yang berbeda-beda; as a philosophical position, a political or intellectual strategy, and a mode of reading. Bahkan dekonstruksi diartikan juga sebagai anti-metode, anti argumentasi dan konsistens/keherensi.
Ben Agger, dalam buku Cultural Studies as Critical Theory, dalam bab “Poststruculturalism And Postmodernism on Culture”, mengemukakan dekonstruksi sebagai anti-metode (Deconstruction as Anti Method).
Sedangkan Ernest Gellner, menyatakan bahwa dekonstruksi sebagai suatu gerakan filosofi dan kultural yang anti kemapanan, dengan mendekonstruksi teks berarti mencurigai semua realitas objektif. Istilah dekonstruksi dalam tesis ini dimaksudkan sebagai anti-metode, yaitu anti terhadap dominasi positivisme dan anti terhadap saintisme, yang menganggap ilmu pengetahuan berada di atas segala aspek budaya lain.
Dekonstruksi atas dominasi positivisme muncul dari seorang Feyerabend. Ia mengungkapkan sikap anti-metode positivisme dengan sangat kritis. Istilah dekonstruksi, menurut pendapat Feyerabend, dimaksudkan sebagai Anti-Metode, yaitu anti terhadap dominasi positivime dan anti terhadap saintisme yang menganggap ilmu pengetahuan berada diatas segala aspek budaya lain.
Sikap anti-metode positivisme Feyerabend, dikemukakan dengan sangat kritis. Feyerabend membongkar asumsi-asumsi positivisme, sehingga pada akhirnya terlihat bahwa metode itu hanya merupakan salah satu metode diantara yang lain (sama-sama mempunyai kelemahan dan keterbatasan). Feyerabend menggunakan semua kritik, konsep untuk mengkritik konsep lain, dan menggunakan konsep lain untuk mengkritik konsep pertama.
0 komentar