Di penghujung tahun 2019, saya menghadiri sebuah diskusi yang diinisiasi oleh Pemuda Kampung Peneleh. Ketertarikan saya untuk hadir dalam acara diskusi tersebut adalah karena kedekatan dengan kampung ini.
Saya tinggal di Surabaya. Kampung halamanku adalah Lamongan. Setiap kali pulang kampung, saya harus melewati rute memutar ke dalam Kampung Peneleh.
Sebelum saya mengikuti diskusi ini, saya hanya mengetahui kampung Peneleh sebatas dari apa yang nampak. Seperti adanya kuburan Belanda yang tak terurus, karena di depannya dibangun Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Namun, diskusi ini berhasil meruntuhkan seluruh asumsi terkait kampung Peneleh yang kumuh dan usang. Di kampung kecil ini tersimpan banyak sejarah. Mulai era kerajaan Majapahit hingga masa perjuangan melawan penjajah.
Diskusi ini diadakan dalam rangka menyambut rencana penetapan kawasan Cagar Budaya Peneleh. Diskusi dengan tema “Peneleh Kampung Asal Mula Indonesia” diadakan di Lodji Besar (Jl. Makam Peneleh No.46), Rabu (30/10/2019).
Hadir sebagai pemantik antara lain, TP Wijoyo (Pemerhati Sejarah), Perwakilan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Surabaya, Adi (Pemuda Peneleh), Perwakilan Konsulat Jendral Australia, serta Kuncarsono Prasetyo (Pemuda Peneleh).
TP Wijoyo menjelaskan, terkait sejarah singkat kota Surabaya mulai dari masuknya kerajaan Majapahit hingga masa kolonial. TP sapaan akrabnya juga mencoba meluruskan makna filosofis dari kata Surabaya.
“Berdasarkan Prasasti Canggu atau Trowulan satu, yang dikeluarkan oleh Raja Hayam wuruk itu disebutkan dengan jelas bahwasanya Hayam Wuruk tahun 1358 M, mengeluarkan Anugerah Sima yang disebut Prasasti Canggu. Dalam prasasti tersebut garis besarnya adalah Hayam Wuruk memberikan Sima, memiliki makna anugrah kepada daerah-daerah Ngadipira Pradesa atau desa-desa tepian sungai," jelas TP.
"Mulai dari Canggu, Surabaya, sampai bengawan Solo. Singkatnya begitu masuk Surabaya, yang disebut pertama kali adalah Igesang. Dari kata itu jadi Gesang dan daerah tersebut sekarang jadi pagesangan. Begitu juga Ibekul, sekarang jadi Bungkul. Jadi Bungkul itu adalah daerah tua yang pernah diberi anugerah Simo oleh raja Hayam Wuruk. Dan yang terakhir Icurabaya. Inilah pertama kali nama Surabaya disebutkan dalam Prasasti Canggu. Jadi nama Surabaya sudah kuno, bukan seperti yang dimitoskan dengan kata Suro karo Boyo. Ini perlu diluruskan. Suroboyo bukan iwak Suro karo Boyo. Kata Surabaya arti aslinya adalah berani melawan bahaya. Cuman pada massa Kolonial disimbulkan dengan Suro (ikan) dan Boyo (buaya). Padahal itu bukan makna sebenarnya. Hal ini perlu diluruskan tapi karena telah terlanjut ya tidak masalah” lanjutnya.
Menyambung penjelasan TP, Pak Musdik perwakilan Dinas Perpustakaan dan Pengarsipan Kota Surabaya mencoba menjelaskan dari sudut pandang pemerintah.
Pak Musdik menjelaskan komitmen Pemkot dalam menjaga perkampungan. Selain itu beliau juga memberi anjuran kepada warga Peneleh, jika menemukan benda bersejarah maka dianjurkan untuk tidak mengambilnya dan segera lapor ke pihak berwajib.
“Pemerintah kota Surabaya memiliki komitmen untuk menjaga perkampungan, hal ini tertuang dalam Perda RTRW no.3 tahun 2007. Kami mencoba melindungi penduduk asli, supaya tidak tergeser," jelas Pak Musdik.
"Kami berusaha menggali potensi kampung agar kampung dapat menjual dirinya, apalagi kampung yang memiliki cukup banyak sejarah. Terakhir, mohon nanti bapak atau ibu sekalian misal suatu saat bangun rumah kemudian menemukan sesuatu itu segera berkomunikasi dengan pemerintah kota atau dengan teman-teman pegiat disini. Apa yang harus dilakukan, jangan langsung benda ini diambil. Karena kekayaan sejarah itu dapat muncul terus disini (Peneleh)," lanjutnya.
Sedangkan Adi menjelaskan tentang seorang tokoh pencetus kemerdekaan Indonesia yang bermukim dikampung Peneleh.
“Di kampung inilah bermukim seorang pencetus kemerdekaan, HOS Cokroaminoto. Pada usianya yang menginjak 28 tahun, beliau berorasi berapi-api dan menyebut kata Zelfbestuur yang memiliki makna pemerintahan sendiri atau merdeka. Pada saat itu bicara merdeka menjadi hal yang tabu, karena pasti akan ditangkap Belanda. Namun, rupanya Belanda tidak mengambil langkah itu karena Cokro memiliki massa yang banyak,” ujar Adi.
Dilanjut dengan penjelasan Kuncarsono Prasetyo sebagai perwakilan dari Pemuda kampung Peneleh. Kuncar sapaan akrabnya mempertegas bahwa kampung peneleh layak menjadi kawasan Cagar Budaya. Hal ini dilandasi dengan adanya artefak yang mewakili setiap zaman. Penjelasan ini didukung dengan beragam data, mulai dari arsip-arsip lama, pemberitaan surat kabar, hingga pernyataan para saksi yang ditulis dalam bentuk Memoar.
“Di tempat ini merekam 4 layer massa, yakni massa Pra-Islam, Islam, Kolonial, kemudian massa Pergerakan dan ada 20 situs dari 4 layer itu yang tentu di tempat lain tidak ada lokasi selengkap ini. Itu yang kemudian menjadi alasan kita agar tempat ini menjadi kawasan cagar budaya yang terintegrasi,” pungkas Kuncar.
Penasaran dengan Penjelasan 4 layer sejarah tersebut? Belum lagi 20 situs yang ada di sekitar kampung Peneleh. Tunggu tulisan selanjutnya, jika tulisan ini mencapai 500 view maka saya akan kembali menulis terkait keterangan lanjutan dari tulisan ini.
Keterangan gambar: Ilustrasi pemuda kampung Peneleh/Kuncarsono Prasetyo
0 komentar