Guru dan Problematika Profesionalitas
Laporan Utama

Sejak diundangkannya UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen
menjadi tonggak kemajuan pengembangan profesi Guru. penguatan kualifikasi serta
kopetensi guru menjadi agenda garapan arus besar bagi kemajuan pendidikan nasional.
Namun, hingga saat lebih dari satu dasawarsa persoalan profesi guru belum mampu
bekerja secara optimal.
Sejak diundangkannya UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen
menjadi tonggak kemajuan pengembangan profesi Guru. penguatan kualifikasi serta
kopetensi guru menjadi agenda garapan arus besar bagi kemajuan pendidikan nasional.
Namun, hingga saat lebih dari satu dasawarsa persoalan profesi guru belum mampu
bekerja secara optimal.
Penelitian yang dilakukan oleh World Bank menemukan bahwa
besaran tunjangan kesejahteraan guru tidak berbanding lurus dengan kemajuan
pendidikan nasional. Dalam berbagai penelitian yang dilakukan oleh lembaga
internasional seperti PISA (Programme for International Student Asessement,
2015) menempatkan Indonesia pada nomor urut ke 64 dari 70 negara yang
diteliti. Tentu hal demikian sangat disayangkan, seoalah narasi besar penguatan
profesi guru bergerak sangat lamban, sedangkan tantangan dan penyelesaian
masalah harus segera terurai.
Pengembangan keprofesian guru suatu keniscayaan. berbagai
strategi dan upaya penguatan profesi guru harus tersusun secara sitematik,
keterhubungan hingga keberlanjutan. Segala upaya pelaitihan, workshop,
training, rembug nasional dan semacamnya harus memiliki semangat untuk
pengembangan guru sebagai aktor utama dalam upaya pemajuan pendidikan nasional.
Upaya Penguatan Kualifikasi Guru
Tuntutan agar profesi guru memiliki kualitas yang unggul
dan membawa kemajuan pendidikan nasional, guru harus memiliki kualifikasi,
kopetensi serta sertifikasi yang mendorong kemajuan pendidikan nasional. Hal
ini sebagaiamana dalam pasal 8 dalam UU no 14/2005 tentang Guru dan Dosen
bahawa untuk menunjang kemajuan pendidikan nasional ada tiga kriteria yang
diupayakan yaitu kualifikasi, kopetensi dan sertifikasi.
Kualifikasi guru di Indonesia patut kita amati. Menurut
keterangan Prof. Suyatno Ph.D mantan direktur jendral pendidikan dasar dan
menegnah Kemendikbud RI bahwa jumlah guru masih banyak yang berada di bawah
standar pendidikan yang telah diamanatkan UU. Menurut UU no 14/2005 kualifikasi
dasar seorang guru minimal memiliki tingkat pendidikan paling rendah adalah
diploma IV (D IV) atau strata 1 (S1). Menurut beliau (KR, 28/8) Sekitar 300.000
guru dari total 3.000.000 guru seluruh Indonesia masih belum memenuhi
kualifikasi dasar sebagai seorang guru. sedangkan kemajuan pendidikan harus segera
meningkat seiring dengan kamajuan dunia.
Guru merupakan pekerjaan yang mulia. Banyak guru yang
memiliki kemampuan yang luar biasa cerdas dalam mengajar dan memberikan
pendidikan kepada peserta didik. Namun, tidak sedikit juga guru yang statis
(diam). Guru tidak memiliki perkembangan pengetahuan serta pemahaman terhadap
kemajuan dunia. Guru seolah ketinggalan dengan perkembangan dan kemajuan
bangsa. dengan demikian seleksi guru melalui lulusan S1 dan D IV tidak kemudian
menjawab soal lemahnya kemajuan pendidikan nasional. Proses belajar bagi guru
juga berlaku jika ingin mengejar kemajuan pendidikan nasional secara cepat.
Demikian upaya yang dilakukan pemerintah yaitu Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk menentukan standar kualifikasi
guru. namun demikian, posisi guru yang telah menjadi guru dan belum memenuhi
kualifikasi tidak lantas dipecat atau diberhentikan dari profesi guru.
pemerintah terus berupaya menentukan metode yang tepat untuk penguatan profesi
guru, diharapkan dapat memacu dengan cepat kopetensi dan profesionalitas guru.
Upaya Penguatan Profesionalitas Guru
Profesionalitas guru menjadi suatu keniscayaan agar
pendidikan Indonesia mengarah pada suatu kemajuan. Penguatan kopetensi guru
menjadi agenda pemerintah untuk penguatan menjadi guru yang unggul dan
profesional. Saat ini, guru masih melakukan tugas memberikan pengajaran (teaching)
untuk peningkatan kemampuan siswa secara kognitif dan menalar. Hal ini sudah
benar dan baik sebagai hasil dari proses pengajaran, namun disini
profesionalitas guru menjadi dipertanyakan. Oleh sebab itu, guru perlu
meningkatkan profesionalitas mendidik sebagai arus utama dalam aktivitas
disekolah.
Meminjam pemahaman Ki Hajar Dewantara tantang
profesionalitas seorang guru. Ki Hajar Dewantara mengingatkan bahwa tugas
mengajar dan mendidik harus menyatu dalam diri seorang guru. karena kedua peran
pengajaran dan pendidikan itu berbeda. Pengajaran akan memberi dampak pada
kemampuan lahir, sedangkan pendidikan akan menghaluskan akal budi (Ki Hajar Dewantara,
Pendidikan 2011:3). Pengajaran dan pendidikan bagaikan mata uang yang tidak
terpisahkan, itulah profesionalitas.
Upaya peningkatan profesionalitas guru terus berjalan,
walaupun kurang terlihat hasilnya (output) terutama dalam peningkatan
mutu pendidikan. padahal pemerintah sudah melalukan segala bentuk program
pengembangan profesionalitas guru seperti misalnya program Pendidikan Profesi
Guru (PPG). Atau melalui Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud,
program yang dilakukan adalah Pengembangan Keprofesian Keberlanjutan (PKB) yang
merupakan keberlanjutan dari program Proram Pengembangan Profesi bagi Guru
Pembelajar (PPGP).
Pengukuran melalui Ujian Kopetensi Guru (UKG) merupakan
upaya untuk peningkatan kemampuan penguatan kopetensi pedagogik dan profesional
sebagai seorang guru. pada tahun 2015 hasil UKG tentang kopetensi pedagogik
basih di bawah standar yang dikehendaki yaitu dibawah nilai 55, sedangkan soal
profesionalitas juga masih dibawah standar nilai 55. Namun pada tahun 2016
cukup mengalami peningkatan, setidaknya sudah mampu berada diatas nilai 55
misalnya bagi guru SMP 63, 87 untuk kemampuan pedagogic, dan 66,79 untuk
kopetensi profesional. Data ini hanya 15,8 persen dari jumlah yang seharusnya
mengikuti program PPG (Kompas, 40/4/2018). Lagi-lagi pengukuran guru dinilai
dengan deretan ketercapaian angka-angka. Muncul pertanyaan, apakah melalui UKG,
guru lantas mampu menjadi pengajar dan pendidik yang dikatakan profesional?.
Sedangkan ukuran sikap dan integritas seorang guru terkadang tidak mampu
dinilai dengan deretan angka-angka.
Saat ini guru harus memperkuat pendidikan karakter
sebagaimana amanat nawacita. Jalan utama yang harus dilakukan adalah penguatan
peran guru sebagai pendidik. sebagai pendidik tentu aspek pengembangan moralitas
(karakter) siswa juga menjadi perhatian utama. Karena hanya dengan nalar dan
akal budi yang sehat maka kualitas bangsa akan baik pula. dimulai dari guru
harus menjadi uswah hasanah (contoh yang baik). Pendek kata sebagaimana
yang diutarakan oleh Ki Sugeng Subagyo (KR, 13/09) bahwa sekolah harus berseser
dari teaching (pengajaran) menuju pada learning (pembelajaran)
dengan demikian sekolah harus membudayakan guru dan murid secara bersama-sama
sebagai pemelajar dan pembelajar.
Mendidik adalah proses penyemaian dan penanaman akal budi.
Pengajaran adalah proses pendewasaan berfikir. Mulailah saat ini penilaian
siswa menggunakan dua pendekatan diatas. Murid yang jujur, baik budi, walaupun
lemah dalam kemampuan berhitung, tetap mendapatkan nilai yang layak. Sebaliknya,
murid dengan kemampuan menghitung yang baik tidak kemudian harus unggul dari
orang yang jujur. Tentu idealnya kita menghendaki kualitas manusia yang
cemerlang dalam menangkap ilmu pengetahuan dan kaya akan moralitas. Itulah
pentingnya pengarusutamaan profesionalitas guru.
Guru dan Problematikanya
Nampaknya profesionalitas harus mengalami berbagai kendala.
Efektifitas penguatan program profesionalitas lamban dan tidak memberikan dapak
yang begitu signifikan bagi kemajuan guru dan dunia pendidikan. Sejauhmana
peran Pendidikan Profesi Guru (PPG), pelaksanaan Ujian Kopetensi Guru (UKG),
program Pengambangan Keprofesian Berlanjutan (PKB), program Pengembangan
Profesi bagi guru Pembelajar (PPGP),
serta peran sertifikasi sebagai legalitas keprofesian menjadi seorang
guru yang profesional. Beberapa problematika yang kiranya patut menjadi
perhatian bersama yaitu:
Pertama, kualifikasi minus profesionalitas. Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) di Indonesia setiap tahun ajaran baru
menampung ratusan ribu mahasiswa. Begitu juga lulusan setiap tahun berjumlah
ratusan ribu. Namun pada kenyataannya, lulusan strata 1 (S1) dan atau Diploma
IV (D IV) FKIP tidak lantas menggantarkan mereka menjadi seorang calon guru
yang profesional. Kualifikasi pendidikan S1/D IV mungkin akan terpenuhi namun
dalam soal profesionalitas masih dipertanyakan.
Semakin geli melihat alur persiapan calon guru di
Indonesia. mereka yang sudah S1/D IV harus mengikuti program keprofesion yang
sediakan oleh pemerintah pusat dan itu pun setelah dinyatakan sebagai guru. fakultas
keguruan yang tidak siap menyediakan guru, itulah realitas yang terjadi pada
jurusan keguruan di bangku-bangku kuliah. Fakultas keguruan tidak memerankan
diri sebagai lembaga kredibel dalam melahirkan guru yang profesional. Segala
program penguatan guru selama di bangku perkuliahan seakan sia-sia belaka. Belum
lagi cerita bahwa mahasiswa keguruan adalah pilihan dari berbagai fakultas
pilihan terakhir. Fakultas keguruan hanya menjadi tempat sandaran terakhir bagi
mahasiswa setelah tidak masuk pada fakultas yang diinginkan seperti fakultas
ekonomi, sosial politik, teknik dan kesehatan.
Kedua, alur sistematika guru yang tidak
efektif, terbukti dengan lulusan mahasiswa keguruan yang tidak siap
menjadi Guru. hadirnya program penguatan guru seperti PPG, PKB, PPGP adalah
fakta tidak sistematis dalam perencanaan pengelolaan guru dan pendidikan di
Indonesia. program kementerian seakan membenarkan bahwa mahasiswa keguruan
tidak siap menjadi seorang guru. kalau seandainya lulusan guru dianggap siap,
tentu tidak perlu lagi menghadirkan program-program penguatan guru sebagaimana
yang tersebut diatas.
Kemudian, jangan sampai penguatan program guru hanya
dinikmati oleh guru yang sudah berumur atau menjelang masa pensiun. Tentu ini
sangat merugikan negara dan sangat tidak efektif. Jikalau yang dimaksudkan dari
program diatas sebagai daya akselerasi kemampuan guru, dengan demikian hanya
diberlakukan untuk guru yang masih produktif, usia 25-40 tahun. Akselerasi
merupakan program keterlanjuran pemerintah pusat dan daerah yang mengangkat
menjadi guru diluar kosentrasi ilmu keguruan.
Ketiga, pengangkatan guru berdasarkan
profesionalitas tidak sekadar pengalaman. Guru usia pensiun
untuk kurun tahun 2017-2021 mencapai angka 295.000 guru, sedangkan untuk tahun
2017 guru pendiun berjumlah 38.829 guru (jawapos online, 18/10/2017). Sedangkan
jumlah total guru di Indoensia mencapai 3 juta guru. Momentum pensiunan ini,
harus menjadi perbaikan perekrutan guru. pasalnya selama ini rekrutmen
mempertimbangkan guru honorer, sedangkan untuk tingkat profesionalitas masih
perlu dipertanyakan. Selama ini terkesan bahwa guru honorer adalah calon guru
PNS. Dengan demikian lulusan yang memang potensial dan memiliki tingkat
profesionalitas akan mengalami hal yang sama sulit menjadi guru PNS dan memulai
karir dengan menjadi guru honorer. Ini menjadi dilemma dalam rekruetmen guru
PNS yang harus segera dicari solusi perbaikan sistem rekruetmennya.
Keempat, teror beban adminitrasi dan kerja guru. guru
sudah selayaknya selalu mengembangkan dan meningkatkan kopetensinya menjadi
seorang guru. dengan demikian segala perangkat kegiatan yang dilakukan guru
harus memiliki unsur pembelajaran dan pendidikan bagi seorang guru.
bebean-beban adminitrasi yang tidak berhubungan dengan keprofesian guru
harapannya tidak menjadi beban seorang guru. perlu formulasi yang efektif dan
efisien bagaimana guru dengan mudah meningkatkan kopetensinya menjadi seorang
guru yang profesional.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Ki Supriyoko bahwa hendaknya
guru dikurangi bebannya yang tidak berhubungan dengan pembelajaran dan yang non
pembelajaran seperti Ujian Kopetensi Guru, Gerakan Literasi Sekolah, pendalaman
kurikulum 2013, program tahunan guru,, pendampingan ekstrakulikuler, wali kelas
serta program adminitrasi tunjangan profesi, mengelola dapodik, adminitrasi
kantor dan lain sebagainya. Begitupula beban kerja guru yang dibatasi dengan waktu
24-40 jam perminggu. Apakah keberhasilan pendidikan Indonesia indikatornya jika
guru dapat memenuhi minimal jam mengajar sebagai keterangan diatas?., guru
harus dihadapkan dengan persoalan kenaikan pangkat golongan salah satunya
terkait dengan mempersyaratkan minimal jam mengajar. bukankah masih ada
indikator lain yang dapat dilakukan seperti menulis, aktivitas soail dan lain
sebagainya.
Kelima, guru tidak berpolitik praktis.
Organisasi guru harus memiliki sifat netralitas. Guru harus terhindar jauh dari
soal mendukung calon kepala daerah. Jika guru masuk dalam wilayah praktis,
mendukung calon-calon kepala daerah yang akan bertarung tentu akan merugikan
keprofesian guru. janji-janji politik seperti kenaikan gaji dan kesejahteraan
guru tidak boleh menjadi bahan kampanye, sebab memang demikian layak yang harus
di dapatkan oleh guru. agak diuntungkan jika kepala daerah yang di dukung
menang dalam pemilihan, namun banyakan jika kalah dalam pemilihan, bagaimana
nasib guru. soal gaji dan kesejahteraan memang sudah selayaknya pemerintah
siapapun pemimpinnya memberikan gaji yang layak dan kesejahteraan guru.
Mengurai Benang Kusut Profesionalitas
Mengurai problematika profesi guru tidaklah mudah, namun
perlu diikhtiarkan agar masa depan pendidikan dapat terukur dan terencana
dengan baik. Problematika diatas menjadi penghambat peran keprofesian guru
sebagai tenaga pendidik dan pengajar. Untuk itu dibutuhkah usaha-usaha yang
tersusun dengan baik agar guru dapat berperan secara optimal, serta dapat
memerankan diri sebagai tenaga profesional. Untuk itu beberapa usaha dibawah
ini menjadi solusi untuk mengurai benang kusut soal profesionalitas guru.
Pertama, tatakelola karir profesi keguruan. Pemerintah
perlu membuat tatakelola keprofesian guru dengan efektif dan efisien. Guru
merupakan kategori profesi khusus seharusnya dengan demikian pemerintah harus
membuat rencana terukur. Misalnya, kebutuhan guru untuk periode tertentu harus
dibarengi dengan jumlah mahasiswa yang masuk fakultas keguruan. Sehingga tidak
kemudian terlihat sia-sia. Pemerintah juga harus mengoptimalkan pembelajaran di
bangku perkuliahan bagi mahasiswa, sehingga tidak akan ada pendidikan diluar
perkukuliahan apalagi saat sudah menjadi guru. hal ini sebagai upaya, agar
fakultas keguruan efektif dan efisien dalam menyediakan calon guru.
Kedua, reqruetmen guru berdasarkan kopetensi.
Persoalan kedua yang harus terurai adalah keberadaan guru honorer yang
terkadang melambung tinggi menjelang pengangkatan guru PNS. Hal ini dikarenakan
paradigma yang terbangun adalah guru PNS berasal dari guru honorer. Jika hal
demikian berlanjut dapat dipastikan benang kusut pendidikan tak akan terurai.
Sebab lulusan mahasiswa keguruan akan menganteri menjadi guru honorer berharap
suatu saat menjadi guru PNS. Dengan demikian pola rantai karier guru akan terus
berputar seperti itu, alumni mahasiswa keguruan menganteri menjadi guru
honorer, dan guru honorer mengantri menjadi guru PNS.
Ketiga, guru harus dibedakan dengan PNS profesi
yang lain. Yang menjadi kendala berikutnya adalah terkadang aturan
guru PNS diberlakukan merata dengan PNS profesi lainnya. tentu harusnya
berbeda, sebab guru adalah bentu profesi khusus sebagaimana amanat
undang-undang (UU). Guru PNS harus tunduk kepada peraturan Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB), misalnya terkait dengan
kenaikan golongan agar tunjangan dapat diterima. Padahal guru bukan mengelola
benda mati, seperti mengelola keuangan, BUMN, Pariwisata, guru berhadapat
dengan manusia yang berfikir.
Keempat, beban adminitrasi dan kerja guru harus
efektif dan efisien. Sudah saatnya pemeritnah pusat menggunakan
teknologi sebagai kemudahan untuk meringankan beban kerja guru. toh kurikulum,
silabus serta adminitrasi lainnya tidak setiap tahun berubah, walaupun ada
perubahan mungkin hanya soal kecil. Efektifitas kerja guru dalam adminitrasi
harus difikirkan, sehingga guru tak hanya berputas soal-soal yang harusnya
tidak mengganggu untuk pengembangan kemampuan guru itu sendiri menjaid guru
profesionalitas. Begitu juga jam kerja guru, harus diperhitungkan secara
matang. Kalau sekarang guru yang menjadi kepala sekolah saja bisa terbebaskan
beban menjadi guru, mungkin demikian guru tidak harus direpotkan dengan soal
jam mengajar dikelas.
Kelima, menjaga indepenensi sebagai guru, dan
tidak berpolitik praktis. Guru harus menjaga netralitasnya dalam
momentum perpolitikan di Indonesia baik pilbup, pilgub dan pilpres. dengan
demikian arah kemajuan pendidikan juga akan membaik. Janji kampaye tidak lantas
membuat hanyut para guru. guru harus menjadi contoh bagi proses demokrasi di
Indonesia. (ARS)
0 komentar