Jangan Minta Tanda Tangan Terhadap Karya, Kisanak!
Essay

Berawal dari harapan saya ketika memesan antologi puisi sang penyair kondang, Latief S. Nugraha. Layaknya orang-orang awam yang meminta tanda tangan pada sebuah karya yang diidam-idamkannya.
Karena saya belum sekeren panyair itu, saya hendak berterimakasih telah dikirimkan antologi yang sudah saya tunggu-tunggu sembari menyayangkan tidak ada tanda tangan sang penyair karena karyanya masih terbungkus rapi, menandakan buku baru.
Tetapi penyair menyampaikan dalam via WhatsApp, &l
Berawal dari harapan saya ketika memesan antologi puisi sang penyair kondang, Latief S. Nugraha. Layaknya orang-orang awam yang meminta tanda tangan pada sebuah karya yang diidam-idamkannya.
Karena saya belum sekeren panyair itu, saya hendak berterimakasih telah dikirimkan antologi yang sudah saya tunggu-tunggu sembari menyayangkan tidak ada tanda tangan sang penyair karena karyanya masih terbungkus rapi, menandakan buku baru.
Tetapi penyair menyampaikan dalam via WhatsApp, “Itu di dalamya tanda tanganku semua”. Tanpa basa-basi dan mengurangi rasa hormat, saya membicarakan hasrat saya untuk segera mengkhatamkannya.
Sebuah tulisan yang dinarasikan akan bermakna bagi pembaca. Karena tulisan sejatinya sebuah refleksi terhadap isu atau wacana yang bersifat faktual. Kemudian narasi itu dapat berkesan bagi pembaca apabila si pembaca menemukan pintu terbuka bagi dirinya sendiri yang ia temukan pada narasi tersebut.
Paling tidak tulisan ini diniatkan sebagai refleks atau apresiasi terhadap puisi seorang penyair kondang. Suatu refleks ini diperuntukan dalam ketertarikan saya pada sajak-sajaknya.
Sajaknya membawa saya pada tingkat perasaan antusias. Karena itu kelembutannya mengejawantah pada puisinya. Unsur lokalitas yang diangkat oleh penyair menurut saya sudah paripurna menjadi sekuntum mawar utuh bagian mahkotanya.
Upaya untuk mengonstruksi pikiran dipilahnya dengan sangat ulet dan hati-hati. Sajak-sajak puitiknya mempersembahkan keunikan dan kesegaran, meskipun kata yang ditemukan sering muncul dalam pikiran setiap pembaca.
Tidak hanya itu, sajaknya pun dapat dikatakan mungkin akan membuka pintu-pintu kepenyairan baru di era setelahnya. Karena memang makna jika tidak disadari secara penuh oleh penyair dalam menciptakan puisinya akan tidak sampai menimbulkan sentuhan batin pembaca.
Makna yang tersimpan dalam puisinya seperti cerat pancuran kendi yang terbiarkan meloncor lembut, tetapi padat, serta searah. Tentu untuk menjadi penyair seperti beliau ini sukar ditempuh.
Karena dalam puisinya yang berjudul “Bagaimana Setiap Jalan Diciptakan” kurang lebih menyatakan, orang-orang sebelum kita adalah matahari bagi dirinya yang kemudian akan terus berputar pada rotasi yang kemungkinan besar sama.
Sekalipun ia tersesat dan tak terkecuali akan terus menempuh kehidupan bagi dirinya sampai pada ujung matahari tersebut tenggelam pada rotasi yang lebih besar.
‘Bulak belukar menjalin jejak kaki
para pengembara, orang-orang sebelum kita
yang tersesat saat pertama kali
menerabas padang jalang, memintas jalan
ke arah matahari tenggelam’
Jelas pembicaraan saya soal sukar ditempuh untuk menjadi penyair seperti beliau adalah nisbi. Semua penyair memiliki perjalanan renungannya sendiri. Seberapa kuat ia menyadari bahwa tulisannya tidak layak dibaca orang lain, maka dari itu acuan tersebut akan mejadi tonggak tersendiri dalam setiap penyair.
Di samping kepenyairannya, beliau sangat bersinggungan langsung dengan kota Yogyakarta, yakni aktivitas beliau terbilang ulet di kota Yogyakarta. Perjalanan yang teramat pantang menyerah, berkesan bagi saya.
Perjuangan kepenyairannya dalam menghidupi dirinya atau untuk menjemput makna yang ditabirinya dapat dikatakan sangat memberikan kemaslahatan dalam lingkup sastra Yogyakarta.
Partisipasinya tak pernah padam, selalu bergerak, selalu berada pada ruang lingkup yang imtemsif. Seperti puisinya yang masif mengabadikan renungannya yang membelenggu.
Banyak puisinya yang mengabadikan sudut pandangnya terhadap Yogyakarta. Suka—duka Yogyakarta yang penyair alami, bahkan rasa hambar yang penyair tuliskan dengan sangat kaya makna. Banyak penyair muda bertanya-tanya bagaimana seorang Latief S.
Nugraha mencipta rasa dalam puisinya, termasuk saya. Artinya dalam tulisan ini masih bersifat spekulasi bahwa penyair menuliskan kata-kata dalam puisinya berkiblat pada Iman Budi Santosa atau Umbu Landu Paranggi.
Dalam dunia akademis untuk memperkuat spekulasi perlu dibuktikan dengan fakta-fakta dalam puisinya. Seperti idiom di bawah ini yang saya kutip dari kedua penyair tersebut. Ini hanya sebagai perumpamaan satu linier diantara kedua penyair saja. Tidak lebih sebagai bukti konkret.
‘...di punggung suatu kota,...’(Masa Silam Sejarah: Latief S. Nugraha) dengan,
‘...di punggung bukit dekat langit...’(Anakk-Anak Punggung Bukit Desa Kembanglangit: Iman Budi Santosa).
Saya mengira-ngira idiom tersebut hampir satu linier, meskipun penyair lain kemungkinan ada yang menuliskan dengan idiom yang sama. Tentu saya tidak menafsir pada satu idiom saja, melainkan kemesraan diantara kedua penyair juga sangat dekat.
Terbilang sedikit pula penyair yang memilih diksi dengan sangat hati-hati atau bahkan sampai spesifik. Ini mencirikan bahwa penyelaman kata atau pemilihan kata begitu didasari sekali oleh seorang penyair kondang, Latief S. Nugraha.
Seperti padanan kata yang bermunculan, bukan sekadar pilihan persamaan bunyi, melainkan bermunculan membawa makna yang koheren. Oleh sebab itu, puisi sering dibicarakan menkonkretkan yang abstrak dan di sisi lain puisi juga dapat mengabstrakkan yang konkret.
Keduanya saling melengkapi, bahkan sukar dipisahkan. Ini tergantung seberapa besar pembaca yang menyerap efektivitas seorang penyair tersebut, Kata-kata dalam sajaknya bisa sangat labil atau banyak makna ketika dibaca oleh pembaca:
‘...Kini kota telah berubah gambar.
Puisi tinggal debar.
Sepanjang petang hatinya tergetar,
Mengenang lembar demi lembar surat kabar
Yang bukan sekadar kertas,
Melainkan detas: hidup tidak sebentar!’(Setelah Malioboro).
Sebuah puisi tidak lepas dari sudut pandang, maka hal yang dibilang mudah mengetahui unsur dari dalam yakni kata ganti orang. Dalam puisi tersebut memakai kata ganti orang ketiga “nya” yang mungkin menyiratkan juga orang pertama (aku penyair).
Membawa paradoksal pada padanan berubah gambar, pada pemaknaan yang lain itu adalah sudut pandang penyair yang menganggap hatinya tergetar melihat kota telah berubah.
Satu sisi perasaannya, membawanya pada kenangan artinya menoleh pada lembar surat kabar, tapi di sisi lain menyatakan hidup tidak sebentar, artinya kembali pada pemenuhan kertas itu sendiri yang mengantarkan pada perjalanan kehidupan untuk sampai pada “detas” pemaknaan yang lain.
Sejalan dengan pilihan diksi yang bermunculan membawa makna yang koheren. Di atas menunjukkan sebagaimana puisi adalah perasaan yang kalut yang bersarang pada dada, maka puncak kekalutan itu adalah hati yang berdebar, bukan decak, deguk, debur atau bahkan bukan yang lainnya.
Karena padanan tersebut akan koheren ketika menjadi frase, klausa, atau kalimat yang tepat. Kertas yang ditulisnya sangat dipengaruhi oleh perjalanan kepenyairannya. Ada beberapa makna paradoksal lain yang terasa berlawanan atau sukar diserap.
Ini membuat penyair muda semakin antusias menyelam ke dasar kata dari puisi-puisinya. Puisi lain yang menarik antusias penyair muda ada pada batin “Yogya yang Lain”:
“Yogya yang selalu tua...Yogya yang selalu muda”
—Umbu Landu Paranggi
‘Berbanjar-banjar lampu kota
Tak ada yang benar-benar menyala.
Tetapi aku tetap di sini
Anteng sepanjang hari
Menantimu di bangku taman
Di bawah pohon trembesi, rengeng-rengeng
Menyanyikan pupuh-pupuh tembang kinanthi.
“Mengapa kau tak kunjung datang?”
Aku bertanya kepada langkah kaki
Jawabannya alangkah teka-teki
Menyilang seperti mimpi.
“Tak ada susahnya mengarang cerita.
Segala hal yang berasal dari langiit benar adanya.”
Entah perintah, entah sabda
Yang tersiar kudengar
Kau telah tiada.’ (Yogya yang lain).
Betapa gegap gempita pikirannya, sampai pada judulnya memakai “Yogya yang Lain”. Pasti bukan sebuah kebetulan penyair memutuskan judul tersebut. Namun pada judulnyalah sebuah misteri atau boleh dikatakan misteri yang pakem itu membawa kelembutan dari sajak-sajaknya.
Berbagai empiris yang dirasakan orang Yogya kemungkinan memikiki keresahan yang sama. Bagai penglihatan ‘Berbanjar-banjar lampu kota—Tak ada yang benar-benar menyala.’, semacam hasrat dalam mengantarkannya pada pertanyaan-pertanyaan empiris.
‘Tetapi aku tetap di sini—Anteng sepanjang hari—Menantimu di bangku taman—Di bawah pohon trembesi, rengeng-rengeng—Menyanyikan pupuh-pupuh tembang kinanthi.’ Seperti pepatah umbu dalam lariknya “Karena kesetiaanlah maka jiank mata dan hati pengembara” Melodia.
Siapa bilang bait tersebut tidak ada urusannya dengan Umbu Landu Paranggi. Kisah dalam sajaknya menarik perhatian akan misteri yang pakem makna. Sebuah tafsiran kecil saya tanpa mengurangi rasa hormat pada penyair adalah puisi tersebut terinisiasi dari petikan puisi Undu Landu Paranggi. Karena penyair membawakan semacam pengantar sebelum masuk puisinya yang berisikan “Yogya yang selalu tua...Yogya yang selalu muda”.
Hingga sampai pada dermaga yang menurut spekulasi saya adalah liris dalam pencapaian makna. Mengapa penyair menanyakan “Mengapa kau tak kunjung datang?” kemungkinan sebab dalam pikirannya hanya ada kota, ingatan, dan jalan pulang. Untuk menjemput makna dari misteri yang pakem, penyair terus pergi dari satu ke lain malam. Meski semakin melangkah ia rasa semakin menyilang beragam arah.
‘Entah perintah, entah sabda—Yang tersiar kudengar—Kau telah tiada.’ Banyak sajak-sajaknya yang mengisahkan misteri, bagi saya ia seorang panutan sajak yang lembut. Bukan sebuah bentuk menyerah dalam menganalisisnya lebih dalam, atau bahkan jika diharapkan sebagai pengantar mengenal penyair kondang ini sangat jauh.
Mengingat kegiatannya yang bersinggungan langsung dengan Yogya membuat ia terdeskripsikan sebagai penyair kondang yang lembut menciptakan suasana, lokasi, sejarah, atau alam. Metafor-metafor dalam sajaknya pasti akan memengaruhi penyair muda Yogya.
Agar spekulasi itu tidak membual, saya cukupkan kutipan dari dua sajaknya. Sudah saya sampaikan di pertengahan, bagi saya puisi-puisinya seperti cerat pancuran kendi yang terbiarkan meloncor lembut, tetapi padat, serta searah.
0 komentar