Entah mengapa pendidikan di Indonesia mengharuskan semua siswa menempuh mata pelajaran yang begitu banyak. Berbeda dengan negara-negara yang lain di mana siswa dibebaskan memilih mata pelajaran sesuai dengan hobi dan bakatnya.
Sebagai contohnya negara Finlandia yang begitu terkenal dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Sayangnya negara kita tercinta mengharuskan siswanya dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas hingga perguruan tinggi menempuh mata pelajaran yang mungkin ada yang tidak disukai, tidak sesuai minat dan bakat, dan masih banyak lagi.
Tak dipungkiri, saya sendiri sebagai pelajar yang pernah duduk di bangku sekolah, selama dua belas tahun benci dan bahkan tak mau lagi ada satu mata pelajaran yang membuat pusing. Salah satunya, yaitu matematika. Matematika bagi saya adalah momok, yang selalu menghantui dan merupakan pelajaran yang saya benci, entah mengapa tapi hal itu terjadi setiap ujian maupun tes.
Baik ujian tengah semester, ujian akhir semester, ujian nasional dan saat pembelajaran dimulai. Saya berpikir bahwa, matematika itu mudah asal tahu cara menghitungnya, rumus dan jawabannya. Tetapi pada kenyataannya setelah ujian itu berlangsung, semuanya buyar, pusing, merinding dan masih banyak lagi perihal yang sulit dijelaskan.
Saat ujian berlangsung saya hanya berharap bahwa ekspektasi sesuai dengan realita hingga pada akhirnya ternyata harapan tersebut hanya angan-angan semata. Ujian matematika dimulai pukul 07.00 dengan siap sedia saya, sudah duduk mempersiapkan alat tulis di meja dan perlengkapan lainnya. Waktu yang diberikan sekitar kurang lebih dua jam untuk mengerjakannya.
Perlahan namun pasti soal saya jawab satu persatu, dengan penuh ambisi untuk bisa mengerjakannya di lembaran coret-coretan angka di samping lembar jawaban. Pada mulanya semuanya berjalan lancar, namun pertengahan jalan mengerjakan soal, susah payah saya corat-coret angka untuk mencari jawaban di soal ujian nyatanya hasil coretan angka saya tidak ada di pilihan ganda yang tertera.
Seperti ada rasa yang tak bisa diungkapkan kata-kata, hanya rasa jengkel dan dada yang berkecamuk ingin memaki-maki. Pada akhirnya, soal tersebut saya lompati untuk mengerjakan soal yang lain, begitu seterusnya sampai menemui soal yang dirasa sulit dicari jawabannya.
Entah karena memang salah perhitungan, lupa rumus, atau bahkan tak tau perihal cara mengerjakannya. Pada detik-detik terakhir menjelang waktu habis, saya coba ulangi soal yang belum saya isi dengan jawaban, hitung lagi hitung lagi dan begitu seterusnya. Tetapi tak membuahkan hasil juga.
Hingga akhirnya dengan jurus pamungkas, jawaban soal tersebut saya reka-reka sendiri, entah capcipcup, menghitung kancing baju dan yang lainnya. Perkara benar atau salah tidak ada dipikiran saya. Yang terpenting soal dijawab semuanya, sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
Prinsip saya ketika ujian hanya, datang kerjakan dan lupakan begitu seterusnya sampai sekarang. Kita sudah berusaha sekuat mungkin, berdoa, selebihnya kita ikhlaskan kepada Tuhan agar dibalasnya.
Berbeda hal dengan matematika, saya justru tertarik dengan bahasa Indonesia. Entah mengapa dan bagaimana bisa, nilai saat ujian yang paling tinggi adalah mata pelajaran Bahasa Indonesia. Selain Bahasa Indoenesia sebagai bahasa pemersatu bangsa, namun ada variasi yang menarik di dalamnya.
Berkaitan dengan sastra seperti, novel, cerpen, puisi, pantun dan masih banyak lagi. Alasan yang lainnya pula, saya mengambil prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yaitu untuk menghindari matematika. Ternyata dugaan saya salah, di dalam prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia tersebut ada pula matematika dengan nama statistika.
Statistika adalah salah satu mata kuliah yang mempelajari tentang mean, modus, median dan yang lainnya. Namun, level kesukarannya lebih tinggi dari pada pelajaran matematika saat sekolah dasar, walaupun sama-sama mempelajari mean, modus, dan median.
Bagi saya bahasa Indonesia itu mudah, tinggal baca-baca paragraf, menjawab dan selesai. Begitu mudah bukan, tidak seperti matematika yang harus hitung-menghitung. Namun pernah terlintas di fikiran saya, banyak orang yang mungkin bisa mendapakan nilai 100 saat ujian matematika. Namun hanya sedikit orang, bahkan tak ada siswa yang mampu mendapatkan nilai 100 pada ujian bahasa Indonesia.
Aneh bin ajaib kalau menurut pemikiran di benak saya. Pelajaran yang bisa diambil dari hal tersebut adalah jangan anggap remeh hal yang menurutmu sulit, ternyata hal itu sangatlah mudah, dan janganlah anggap remeh hal yang mudah, jika nyatanya memang sulit. Untuk sekarang saya, matematika, dan bahasa Indonesia sudah akur, jadi jangan khawatir.
0 komentar