Kebebasan bependapat pada dasarnya merupakan hak dasar setiap manusia yang dimiliki oleh setiap individu dan dijaminkan oleh sebuah negara.
Pentingnya perlindungan hak dasar yang sangat krusial inipun diletakkan dalam aturan dasar sauatu negara,dalam hal ini konstitusinya sehingga memiliki landasan hukum yang cukup kuat.
Sebagai negara hukum, Indonesia mengatur kebebasan untuk berpendapat dalam Konstitusi yakni pada Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, ”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pikiran melalui lisan maupun tulisan secara yuridis diatur melalui yang konstitusi dan peraturan perundang-undang, lainnya memiliki arti bahwa negara memilki kepedulian lebih dalam mewujudkan perlindungan dan kebebasan warga negara dalam berpendapat.
Menilik lebih dalam, yang mendasari seseorang bebas untuk mengeluarkan pendapat juga dijamin dan dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia UU HAM, yang berbunyi :
“Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara”.
Tentu perlu kita sadari bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak, dan setiap hak tentu dibarengi dengan setiap kewajiban.
Semua warga negara tentu memiliki hak untuk mengemukakan pendapat dimuka umum, namun diiringi juga dengan kewajiban mentaati seperangkat norma yang hidup di dalam masyarakat sehingga tidak menimbulkan hak yang mengganggu hak orang lain.
Sehingga dalam hal ini berarti kebebasan yang dimaksudkan oleh konstitusi bukan berarti kebebasan yang mutlak, namun merupakan kebebasan yang terkontol oleh sistem norma.
Waktu terus berjalan dan perubahan social terus terjadi. Dunia maya seolah menjadi dunia nyata yang lebih diminati oleh hampir setiap orang. Kemudahan melakukan akses komunikasi dan transaksi yang disebabkan kemajuan teknologi menjadi salah satu alasan kongkrit masyarakat lebih banyak yang memilih berinteraksi di dunia maya.
Terlebih di era pandemi Covid-19, hampir segala bentuk komunikasi dan pekerjaan dilakukan secara daring sehingga tentu kondisi ini juga memicu permasalahan, yakni maraknya kejahatan jenis baru yang dilakukan melalui dunia maya, untuk UU ITE sangatlah berperan penting dalam mengontol kejahatan dan menegakkan keadilan.
Pertanyaan kongkrit yang muncul pada tahapan selanjutnya adalah ”apakah penegakan UU ITE di Indonesia dirasa sudah cukup memberikan keadilan?, lalu. Keadilan bagi siapa?”.
Keadilan berasal dari kata adil, menurut Kamus Bahasa Indonesia adil adalah tidak sewenang-wenang, tidak memihak, tidak berat sebelah. Adil terutama mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas norma-norma objektif.
Seiring maraknya dunia ITE dewasa ini, sangat banyak kasus mengenai pencemaran nama baik yang diselesaikan secara kurang adil.
Shinta Agustina dalam salah satu bukunya yang berjudul “Meninjau Ulang Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik sebagai Pembatas Kebebasan Berekspresi: Rekomendasi untuk Revisi KUHP dan UU ITE” menyatakan, bahwa seharusnya penegak hukum selektif untuk menerapkan pasal-pasal dalam UU ITE.
Terutama jika menangani cyber crime. Bila terkait dengan delik pencemaran nama baik, sebaiknya penegak hukum mengedepankan pasal-pasal dalam KUHP agar penegakan hukum terhadap tindak pidana ini lebih manusiawi.
Pemerintah juga harus mengembalikan maksud dan tujuan pengaturan UU ITE, yaitu untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan teknologi ITE, bukan membatasi masyarakat dalam memanfaatkan teknologi ITE.
Dalam banyak kasus di lapangan, menyinggung masalah UU ITE, selalu identik menyinggung tentang kebebasan berpendapat. Stigma ini tentu tidak terlepas dari masyarakat yang melihat berbagai peristiwa pada realitas yang ada, bahwa kerap kali pendapat berupa curhatan, kritik dan penyampaian protes kerap dijatuhi pidana.
Penegakan UU ITE nyatanya memang lebih banyak mengurusi pada permasalahan pencemaran nama baik, penistaan agama, penyebaran hoax, ujaran kebencian dan bebarapa hal lainnya.
Di lain sisi, dalam hal pencemaran nama baik misalnya, konten dan konteks menjadi bagian yang sangat penting untuk menentukan adanya penghinaan atau pencemaran nama baik.
Rusak atau tercemarnya nama baik seseorang secara hakiki hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan. Dengan kata lain, korbanlah yang dapat menilai secara subyektif mengenai suatu konten dari informasi atau dokumen elektronik yang ia rasa telah menyerang kehormatan atau nama baik.
Sehingga dalam hal ini berpendapat bahwa seharusnya dalam penegakan hukum khususnya dalam proses penegakan hukum pidana, untuk hal-hal yang tidak terlalu besar dampaknya, bisa dilakukan proses mediasi penal, sehingga memunculkan keadilan bagi pelaku, korban dan masyarakat.
Ini tentu juga selaras dengan karakter hukum pidana yang bersifat ultimum remedium (senjata pamungkas) yang berarti pidana merupakan alternatif terakhir apabila tidak ada upaya lain yang bisa dilakukan.
Dalam hal lain misalnya, pada contoh kasus konkrit seperti kasus Baiq Nuril, seorang perempuan yang mencoba mempertahankan hak dan kehormatannya yang dilecehkan oleh atasannya secara verbal melalui telfon, kemudian merekam tindakan tersebut malah menjadi bumerang untuknya dan mendapat hadiah pidana dari negara.
Baiq nuril dalam kasusnya sebenarnya ingin menyampaikan pada semua orang bahwa ia sedang dizhalimi. Tujuannya merekam tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membela diri dan menyampaikan bahwa dia butuh perlindungan dimata hukum.
Dan tentu tindakan Baiq Nuril merupakan bagian daripada berpendapat. Lalu, dimana kebebasan berpendapat dan mengungkapkan ekspresi yang dijamin oleh konstitusi itu sendiri?
Kasus ini tentu menjadi satu problem yang besar dan membuat masyarakat semakin dilema terhadap hukum dan penegakannya. Bagaimana tidak?, acap kali UU ITE dijadikan sebagai senjata balas dendam, bukan sebagai aturan yang bertujuan menjamin keadilan.ditambah dengan serentetan kasus yang membuat kita geleng-geleng kepala.
Penulis menyarankan kepada seluruh rangkaian aparat penegak hukum di Indonesia supaya lebih ojektif dan jeli serta menggunakan hati nurani dalam menegakkan keadilan agar tercapai satu keadilan dalam hakiki dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat.
0 komentar