Berbicara mengenai Deschooling Society pasti erat kaitannya dengan seorang filsuf Pendidikan Ivan Illich. Deschooling Society adalah buku yang ditulis oleh Ivan Illich dan berisi kritikan-kritikan mengenai peran dan praktik pendidikan di era modern.
Di antara banyak kritikan-kritikan Ivan, ada satu kritikan yang menarik dan sesuai dengan kondisi saat ini, yaitu kebebasan dalam belajar.
Kebebasan dalam belajar diungkapkan oleh Ivan illich karena keprihatinannya melihat dunia pendidikan saat itu, di mana pelajar ‘terpaksa’ harus belajar di sekolah. Terpaksa yang dimaksud adalah adanya wajib belajar selama 12 tahun, belajar hanya bisa di gedung sekolah, ijazah adalah segala-galanya.
Kondisi tersebut tentunya sangat mengekang, karena sebenarnya belajar dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja dan ijazah tidak menentukan apakah seseorang berkualitas atau tidak.
Sering kita jumpai seseorang yang bisa sukses walaupun tidak mengenyam pendidikan formal apalagi ijazah tertentu, sebut saja Mark Zuckerberg sang pendiri Facebook, hingga mantan menteri kelautan Indonesia, Susi Pudjiastuti.
Mereka adalah bukti nyata bahwasannya tidak perlu adanya wajib belajar 12 tahun seperti yang saat ini masih diterapkan di Indonesia, serta menjadi bukti bahwa belajar juga bisa dilakukan dengan mempelajari apa yang ada di sekitar kita, memanfaatkan apa yang kita miliki.
Seperti yang kita ketahui, saat ini pembelajaran di seluruh dunia terpaksa dirubah yang sebelumnya berupa tatap langsung, kini harus berganti berupa daring yang dinamakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Kondisi ini mengingatkan kita tentang kritikan Ivan Illich tentang kebebasan dalam belajar.
PJJ Kurang lebih sudah berjalan selama 10 bulan, terhitung sejak maret 2020 hingga januari 2021. Metode pembelajaran jarak jauh pada awalnya memang sangat berat bagi semua pelaku pendidikan, seperti guru dan siswa.
Guru yang selama ini hanya bisa mengajar secara tatap muka, harus beradaptasi mengajar secara daring. Siswa yang selama ini bisa dengan mudah di monitoring selama pelajaran, kini semakin sulit.
Adapun total jumlah pelajar yang berpotensi berisiko dari pendidikan pra- sekolah dasar hingga menengah atas adalah 577.305.660. Sedangkan Jumlah pelajar yang berpotensi berisiko dari pendidikan tinggi sebanyak 86.034.287 orang. Di Indonesia, beberapa kampus mulai menerapkan kebijakan kegiatan belajar mengajar dari jarak jauh atau kuliah online.
Seperti yang dilakukan di Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Universitas Negeri Yogyakarta.Pembelajaran daring atau jarak jauh (PJJ) SD Negeri 04 Doro, menuntut guru dan siswa untuk dapat menguasai teknologi pembelajaran secara digital. Tuntutan kebutuhan tersebut, membuat guru dan siswa dapat mengetahui media online yang dapat menunjang sebagai pengganti pembelajaran di kelas secara langsung.
Selain penguasaan teknologi digital dan media online oleh pendidik dan peserta didik, fasilitas pendukung juga harus tersedia seperti smartphone, jaringan internet dan juga pulsa data atau paketan datanya.
Pada awal diterapkannya PJJ ini membuat guru, siswa, dan orang tua siswa kebingungan. Guru harus mencari cara agar pembelajaran harus tetap berjalan walau belajar dari rumah. Siswa harus belajar sendiri tanpa bisa bertemu teman-temannya.
Orang tua siswa tentunya tidak kalah pusing karena konsentrasi harus terpecah dengan anaknya yang melakukan kegiatan belajar dari rumah. Guru diharuskan mampu berkenalan dengan aplikasi-aplikasi yang sebenarnya sudah ada selama ini namun banyak guru yang tidak memanfaatkannya seperti Whatsapp.
Lalu, apa hubungan Deschooling Society dan PJJ? Menurut penulis, kondisi saat ini menjadi momen penting untuk mengembangkan kebebasan dalam belajar, khususnya untuk siswa. Kenapa demikian? Karena siswa menjadi lebih banyak kesempatan dalam mencari dan mempelajari hal yang disukainya.
Selain itu karena dukungan teknologi internet, sumber belajar semakin beragam, kesempatan ini seharusnya bisa dimaksimalkan oleh siswa. Dari sisi guru ataupun lembaga pendidikan, sumber-sumber bahan ajar juga sangat bervariasi dan bisa diintegrasikan dengan PJJ.
Tinggal bagaimana pemerintah menyikapi hal ini, karena pembelajaran dimasa normal tidak bisa begitu saja diterapkan dimasa pandemi dengan hanya merubah yang luring menjadi daring.
Seperti yang penulis bilang tadi, momen PJJ adalah saat yang tepat untuk mengimplementasikan kebebasan belajar. Begitupula dengan pemerintah yang sudah menyiapkan program Merdeka Belajar, di mana peserta didik bisa lebih bebas dalam memilih apa yang harus dipelajari.
Contohnya di Perguruan Tinggi (PT), saat ini sudah berlangsung program pertukaran mahasiswa PERMATA SAKTI (Pertukaran Mahasiswa Tanah Air Nusantara-Sistem Alih Kredit dengan Teknologi Informasi), baik antar prodi dalam satu PT, hingga antar PT yang satu dengan PT lainnya. Program ini memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar diluar bidangnya, sehingga belajar bisa lebih bebas.
Kondisi pandemi seperti saat ini bagaikan sebatang kayu, jika diolah dengan baik, maka hasilnya akan bermanfaat, akan tetapi jika dibiarkan begitu saja, tentu akan sia-sia dan merugikan.
Dengan demikian, manfaatkanlah masa-masa pandemi dan PJJ saat ini sebaik-baiknya dengan mempelajari pengetahuan baru, menciptakan karya, dan berinovasi sebagai bentuk kebebasan kita dalam belajar.
Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyebutkan, 67% masyarakat terbebani dengan biaya dikeluarkan pada program pembelajaran daring atau belajar dari rumah selama pandemi corona. Kesimpulan ini didapat berdasarkan hasil survei asesmen publik tentang pendidikan online periode 5 - 8 Agustus 2020. Manajer Kebijakan Publik SMRC Tati D.
Wardi mengatakan, berdasarkan temuan survei tersebut 50% responden menjawab cukup berat, 17% responden menjawab sangat berat dan 26% sedikit berat. Sedangkan responden yang menjawab tidak berat hanya 6%, lalu tidak menjawab 1%.
Menanggapi hasil survei, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Kebukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Toto Suprayitno mengatakan, pihaknya telah melakukan relaksasi kebijakan.
Salah satunya berupa penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang bisa digunakan untuk membeli pulsa dan meringkas kurikulum yang diberikan pada peserta didik. Ia pun menyadari bahwa selama ini infrastruktur pendidikan yang ada di Indonesia belum disiapkan untuk bertransformasi menuju pembelajaran digital.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyampaikan pemerintah akan menyalurkan bantuan kuota data internet pendidikan pada September 2020 mencapai 27,3 juta orang.
Pelaksana Tugas Kapusdatin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Hasan Chabibie mengemukakan, bantuan ini diberikan kepada peserta didik agar mereka bisa melakukan kegiatan belajar meskipun secara jarak jauh.
Bantuan tersebut akan diberikan kepada mayoritas peserta didik SD sebanyak 11,3 juta, peserta SMP sebanyak 5,3 juta, peserta SMA sebanyak 3,1 juta, peserta SMK sebanyak 3 juta, mahasiswa akademi sebanyak 2 juta, dan guru sebanyak 1,3 juta.
Selain itu, bantuan juga akan diberikan kepada pendidikan anak usia dini (PAUD) sebanyak 846.360 peserta, kemudian dosen sebanyak 125.099, hingga mahasiswa vokasi sebanyak 60.281 peserta.
Bahkan, murid dari tingkat pendidikan sekolah luar biasa (SLB) juga mendapatkan internet gratis sebanyak 29.050 orang serta kepada peserta didik dari tingkat pendidikan kesetaraan yang jumlahnya mencapai 26.525 orang .
Semoga semakin bermunculan karya-karya kreatif anak bangsa di tengah pandemi ini
Ariati
2021-01-16 10:01:06