Soekarno dan Njoto adalah dua tokoh sosialis yang sangat dekat. Saking dekatnya, seringkali Soekarno memanggil Nyoto untuk menuliskan pidato kenegaraan. Sukarno menyatakan, ia lebih suka gaya pidato kenegaraan yang dibuat Nyoto daripada stafnya. Hal ini didasarkan karena Soekarno menilai pidato yang dibuat Nyoto cocok dengan kondisi masyarakat saat itu.
Keahlian Nyoto merangkai kata-kata dilatarbelakangi, karena ia sendiri adalah wakil ketua PKI bidang agitasi dan propaganda. Selain itu, ia juga sebagai menteri negara pada pemerintahan Soekarno. Jadi wajar, jika mereka sangat dekat dan semakin menemukan keserasian pemikiran bernegara.
Salah satu kutipan dari buku, Nyoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara, almarhum Joesoef Ishak mengatakan : “Bung Karno merasa pemikiranya cocok dengan Nyoto”. Hal ini menjadi bukti tambahan bahwa mereka memang sudah serasi mulai dalam pemikiran.
Keserasian pemikiran Soekarno mengenai komumisme, seringkali membuat Nyoto kagum. Salah satunya adalah esai-esai karya Soekarno yang menurutnya, senada dengan pemikiran komunisme pada saat itu.
Esai-esai itu diantaranya Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, Memperingati 50 tahun wafatnya Karl Max, Menjadi Pembantu ‘Pemandangan’.
Esai-esai itu telah dibukukan dalam buku “Dibawah Bendera Revolusi”. Kemudian, oleh Nyoto direkomendasikan bagi siapa saja yang ingin mempelajari Marxisme dari dasar. Untuk mempeladjari Marxisme, orang boleh memulai dengan membatja 3 tulisan Bung Karno dalam “Dibawah Bendera Revolusi”[1], masing-masing :
Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme
Soekarno membuka esainya ini dengan seruan pernyataan yang keras. Bahwa Sukarno, ingin kembali menyadarkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang baru lahir, yang sedang tidak senang dengan nasib politiknya, ekoniminya dan nasib lainnya.
Soekarno melanjutkan esainya ini dengan bercerita mengenai nasib bangsa Indonesia yang di bawah tekanan kolonialisme. Sikapnya yang menentang kolonialisme Belanda dan negara-negara eropa lainya tercermin di sini.
Soekarno menganggap bahwa kolonialisme adalah bukan kehendak semua negara, terlebih mereka yang dikolonialisasi. Soekarno menyambungkan, bahwa mereka yang mengkolonialisasi adalah negara yang tidak punya rezeki sehingga harus mengambil rezeki negara lain.
Masih berbicara mengenai kolonialisme Belanda, bahwa kolonialisme yang dilakukanya itu menjadi faktor utama penghambat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Pertikaian yang mencuat antara Serikat Islam Merah dan Serikat Islam Putih menjadi faktor tambah permasalahan kesatuan bangsa Indonesia.
Namun Soekarno tidak gentarnya menghadapi berbagai persoalan tersebut. Ia tetap optimis bahwa persatuan bangsa Indonesia tetap akan terjadi. Gagasan-gagasan persatuan terus muncul, di tengah masyarakat Indonesia yang harus menerima ketiga kekuatan ideologi yang berbeda tersebut.
Sambil menentang kolonialisme belanda, Soekarno menjelaskan bahwa ketiga ideologi yang diangkat dalam esainya ini bisa diterapkan pada masyarakat Indonesia. Ia selalu mengaitkan mengenai Marxisme yang sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Nasionalisme pun demikian. Sukarno berani mangaitkan hal tersebut, karena ia melihat Mahatma Ghandi yang berhasil menyatukan warga India dengan berbagai macam golongan itu.
Agaknya, esai Soekarno ini sedikit cocok diterapkan pada bangsa Indonesia sekarang. Yang mana, masih banyak konflik keagamaan, politik, bahkan ideologi. Fenomena ini penting dikomparasikan dangan persatuan yang Soekarno bangun lewat esainya ini. (Sumber : matamatapolitik.com)
Memperingati 50 Tahun Wafatnya Karl Max
Bung Karno menulis esainya ini pada tahun 1933 di majalah Fikiran Rakjat dirinya sendiri. Sebagai majalah politik populer pada masa itu, Fikiran Rakjat mewakili Soekarno, menyampaikan kritik terhadap kolonialisme yang dilakukan belanda. Tentu saja ini sejalan dengan Ideologi Soekarno yang gencar menentang berbagai kolonialisme di Indonesia.
Kembali kepada esai Memperingati 50 Tahun Wafatnya Karl Max. Agaknya Soekarno memang sangat mengidolakan tokoh kaum Marhaen satu ini. Bagaimana tidak? Soekarno memuji habis-habisan perjuangan Karl Max, untuk kaum buruh dan pekerja. Soekarno mengatakan, bahwa perjuangan Karl Max dari muda sampai wafatnya tidak ada henti-hentinya menolong kelas pekerja dan kaum terhisap.
Soekarno mengkomparasikan konsep sosialisme Karl Max dengan kaum Ssosialis lain. Menurutnya, sosialis-sosialis lain mengira bahwa cita-cita sosialime hanya dapat dicapai dengan bekerja sama antara buruh dan majikan (dalam hal ini pemodal). Tentu hal ini bertolakbelakang dengan konsep sosialis Karl Max yang menentang keras para pemodal.
Terakhir, Soekarno menambahkan bahwa benih-benih ideologi tersebut telah ditebarkan dan terbawa angin topan zaman, yang kini telah sampai di kepulauan bernama Indonesia. Marxisme itu kemudian berkawin dengan nasionalisme di timur sehingga membentuk nasionalisme baru. Dan nasionalisme baru inilah yang sekarang hidup di kalangan masyarakat marhaen Indonesia. (sumber : dasarkita5sila17845.wordpress.com)
Konsep menolong fakir miskin, orang-orang yang terhisap oleh keserakahan kaum pemodal di Indonesia sedang mengalami krisis saat ini. Agaknya perlu digencarkan kembali upaya-upaya sosialis dari semua elemen masyarakat.
Dari intelektual, pekerja, buruh, pemodal semua harus andil. Agar tercipta masyarakat yang sadar. Yang kaya memberi sebagian hartanya untuk menolong yang miskin. Dan yang miskin terus berusaha mencukupi kebutuhanya tanpa berlebih mengharapkan bantuan yang datang.
Menjadi Pembantu ‘Pemandangan’
Berbeda dengan esai sebelumnya, kali ini esai bung Karno dimuat pada majalah Pemandangan. Soekarno kembali menggaungkan teori-teori sosialis sebagai pemecah yang konkrit dari persoalan politik, sejarah, dan sosial-kemasyarakatan. Jelas sekali di sini, bahwa Soekarno sudah terlampau jauh terpengaruh ideologi tersebut.
Soekarno menerangkan bahwa nasionalismenya berbeda dengan nasionalisme kebanyakan orang. Menurutnya, nasionalisme yang ia anut tidak ada nilai yang bertentangan dengan nilai islam. Ia menambahkan bahwa nasionalisme yang bertentangan dengan islam hanya nasionalisme dalam arti sempit.
Soekarno juga berbicara mengenai marxisme yang ia anut selama ini. Ia mengatakan, kalau Marxisme menurut kebanyakan orang tidak bisa menyatu dengan islam. Marxisme adalah ajaran tersendiri dan berbeda dengan Islam. Soekarno menangkis kata-kata tak berdasar itu dengan menyatakan bahwa Marxisme yang dipahami Soekarno, bisa berjabat tangan dengan nilai islam pada dirinya.
Bahkan ia menambahkan, berkat Marxisme yang ia anut itu, menjadikanya sebagai pribadi yang menentang keras fasisme dan kolonialisme yang terjadi di dunia. Soekarno memungkaskas esainya dengan berkata, “Entah gemar Tuan-tuan membaca artikel-artikel saya yang "netral" itu, entah tidak. Kalau gemar, kasihlah tahu kepada saya, – kalau tidak gemar, kasihlah pula tahu kepada saya.”. (Sumber : id.wikisource.org)
Demikianlah esai-esai bertajuk Marxisme rekomendasi Nyoto untuk para pemula pembelajar ideologi Marxis.
[1] Njoto, “Mendjawab Beberapa Salah Faham atas Marxisme”, Harian Rakjat, 15 Februari 1965.
Mantab bang Rendi. Analisisnya tajam dan komplit.semangat
Mustofa Dahlan
2021-01-11 09:48:37