Dunia pendidikan merupakan tempat dimana anak-anak seharusnya merasa nyaman sebagai rumah kedua. Ironinya, kekerasan dalam dunia pendidikan masih saja belum berakhir. Padahal seharusnya sekolah menjadi tempat hampa kekerasan atau zero tolerance terhadap kekerasan. Karena sejatinya pendidikan adalah proses membangun peradaban bangsa.
Sekolah merupakan salah satu institusi tempat anak menghabiskan waktunya selain rumah. Komitmen penyelenggara sekolah, sistem pembelajaran dan kurikulum di sekolah, budaya yang dibangun oleh seluruh pemangku kepentingan di sekolah menjadi kunci terlaksananya perlindungan anak di sekolah. Tulisan ini ingin mengelaborasi bagaimana kekerasan itu terjadi di dunia pendidikan, tren-nya hingga bagaimana melakukan upaya pencegahan secara optimal.
Memahami Kekerasan terhadap Anak di Lingkungan Sekolah
Kekerasan terhadap anak dalam dunia pendidikan dapat berupa kekerasan fisik, psikis, hingga seksual. Kekerasan fisik dapat berupa mencubit, memukul, menjambak, menempeleng, tawuran, dan sejenisnya yang dapat berakibat luka fisik bagi korban. Kekerasan psikis dapat berupa bully atau perundungan, perlakuan diskriminatif, pembatasan ruang gerak, penjatuhan mental dan kepercayaan diri, dan sejenisnya yang dapat mengganggu tumbuh kembang psikologisnya. Sedangkan kekerasan seksual adalah segala tindak kekerasan yang menyentuh area pribadi, melakukan pencabulan, hingga memaksa bersetubuh.
Dari aspek pelaku, tindak kekerasan dapat dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan di sekolah. Di antaranya sesama anak didik, anak didik kepada guru, guru kepada anak didik, tenaga kependidikan kepada anak-anak dan atau lainnya kepada anak didik.
Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 yang memiliki fokus pada perlindungan anak di dunia pendidikan khususnya pasal 9 ayat 1a “Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain”.
Sedangkan pasal 54 ayat 1 berbunyi “Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain”. Munculnya pasal ini adalah dampak dari kekerasan seksual di sekolah dan data kekerasan seksual yang terjadi pada tahun 2014 yang meningkat hingga 100%, baik anak sebagai korban maupun pelaku.
Berdasarkan data KPAI kasus kekerasan di dunia pendidikan menurun dalam kurun waktu 2016 dan 2017. Sebelumnya kasus di dunia pendidikan menjadi terbanyak ketiga namun posisinya digantikan oleh kasus cyber crime dan pornografi. Namun demikian, tidak berarti kasus kekerasan di dunia pendidikan tidak ada. Ada banyak kekerasan yang bersifat corporal punishment atau kekerasan untuk upaya pendisiplinan yang tidak terlaporkan dan masih tabu untuk dilaporkan. Selain itu, jika dampak dari kekerasan fisik dapat ditolerir, sering kali tidak ada laporan terhadap kasus tersebut.
Selain itu, berdasarkan data KPAI tahun 2017, korban dan pelaku kekerasan baik kasus kekerasan fisik, psikis dan seksual didominasi oleh anak laki-laki dengan 56,15% dan anak perempuan sebanyak 43,85%. Data KPAI sesuai dengan penelitian Kementrian Sosial (2013) yang menyebutkan bahwa prevalensi kekerasan yang dialami anak laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan. Kekerasan pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan pada kekerasan fisik 1 dari 3 dibanding 1 dari 7; kekerasan emosional 1 dari 8 dibanding 1 dari 9; dan kekerasan seksual 1 dari 12 dibanding 1 dari 19 anak. Berdasarkan data tersebut, anak laki-laki perlu mendapat pengetahuan yang baik untuk menjaga diri, sikap, dan perilaku agar tidak menjadi korban dan pelaku kekerasan.
Memperlakukan Anak Sesuai Hak dan Fase Tumbuh Kembangnya
Penyelanggara sekolah penting untuk memahami bahwa anak memiliki hak-hak untuk dilindungi sesuai dengan prinsip perlindungan anak, yaitu hak tumbuh kembang, non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, dan mendengarkan pendapat anak. Prinsip perlindungan anak perlu dijadikan perspektif bahwa dalam keadaan apapun anak perlu diperlakukan sebaik-baiknya tanpa diskriminasi. Selain itu, perlu diingat bahwa kebutuhan anak tidak hanya fisik tetapi juga secara psikis yang sering diabaikan orang dewasa.
Prinsip kepentingan terbaik bagi anak misalnya dalam konteks kekerasan seksual di sekolah, demi nama baik sekolah, anak yang sebenarnya korban justru sering disingkirkan karena dianggap mencemarkan nama baik sekolah. Lingkungan sekolah lupa bahwa jika pelaku dibiarkan maka dapat muncul korban lain. Sementara anak membutuhkan rehabilitasi agar tidak menjadi pelaku di masa yang akan datang. Prinsip mendengarkan pendapat anak sangat penting diterapkan dalam praktek belajar mengajar di dalam dan di luar kelas, termasuk kegiatan sekolah.
Masing-masing anak itu unik dan memiliki kelebihan dan kekurangan. Penerimaan terhadap kondisi anak didik menjadi kunci sikap para pendidik agar menghargai harkat martabat anak. Anak didik juga perlu ditanamkan sikap menghargai sesama teman sehingga tidak ada kasus bully atau perundungan hingga merendahkan orang lain. Penghargaan menjadi karakter dasar untuk mencegah anak menjadi pelaku kekerasan fisik, psikis dan seksual.
Selain itu, anak-anak memiliki fase tumbuh kembang sesuai umurnya yang tidak dapat dipaksa untuk disesuaikan dengan harapan guru maupun orang tua. Perlu diingat pula bahwa kebutuhan anak tidak hanya mendapatkan pengetahuan di sekolah tetapi juga bersosialisasi, memanfaatkan waktu luang, bermain, hingga keterampilan menyelesaikan masalah menuju kemandirian sesuai usianya.
Padatnya kurikulum tidak seharusnya mengurangi pendidikan karakter yang berlangsung karena hal ini menjadi kunci bagi pencegahan kekerasan di sekolah. Belajar yang menyenangkan menjadi kunci agar anak bahagia selama proses belajar, bebas dari rasa takut. Sudah semestinya sekolah memberikan ruang berekspresi bagi anak dan mendorong anak memiliki kesadaran untuk terus berbuat kebajikan.
Membangun Budaya Ramah Anak di Sekolah
Sekolah bukanlah hanya bangunan fisik, namun ada guru, murid, staf, dan pekerja di lingkungan sekolah. Selain itu, sekolah juga memiliki kurikulum dan sistem pembelajaran, serta manajemen sekolah. Dari aspek sumber daya manusia, semua warga di sekolah wajib memiliki komitmen untuk saling menghargai satu sama lain, yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda. Budaya damai akan mengurangi potensi kekerasan.
Dari aspek kurikulum dan sistem pembelajaran, siswa sebaiknya mendapat penjelasan menyeluruh dari guru tentang proses belajar mengajar. Guru juga mengembangkan pendidikan yang menghargai keberadaan siswa dan mengembangkan potensi serta kepribadiannya. Siswa pun perlu terlibat dalam menyusun aturan dan membuat konsekuensi sehingga siswa merasa memiliki terhadap aturan yang berlaku di sekolah. Siswa perlu didengar pendapatnya untuk menciptakan iklim yang ramah, misalnya penyediaan fasilitas untuk pengembangan bakat dan minat anak sehingga suasana sekolah ramah untuk anak. Manajemen sekolah perlu diatur agar dapat mendukung suasana yang kondusif, sehingga tidak ada lagi kekerasan di sekolah.
Terakhir, orang tua pun tetap memiliki tanggung jawab untuk mendidik dan mengasuh anak. Karena prinsipnya anak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dan lebih awal menerima pendidikan dan pengasuhan di rumah. Tanpa kerjasama dengan orang tua, upaya membangun budaya damai bagi anak didik dan mendukung budaya damai di sekolah akan sulit. Akhirnya, sekolah dan keluarga perlu bahu membahu untuk menciptakan budaya damai. Wallahu ‘alam bisshowab.
0 komentar