Kekerasan di Sekolah: Catatan untuk Hari Pendidikan Nasional
kolom
Dalam beberapa dekade terakhir, publik disuguhi sejumlah persoalan genting tatkala akan, sedang atau bahkan telah memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Persoalan-persoalan itu tidak hanya disampaikan secara lisan, tetapi juga tulisan yang disebar melalui media sosial. Pelan tapi pasti, wacana yang diproduksi lewat media sosial pada gilirannya menyebar secara masif dan menghampiri hampir semua lapisan masyarakat tanpa tebang pilih. Mereka yang menekuni bidang keahlian di luar pend
Dalam beberapa dekade terakhir, publik disuguhi sejumlah persoalan genting tatkala akan, sedang atau bahkan telah memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Persoalan-persoalan itu tidak hanya disampaikan secara lisan, tetapi juga tulisan yang disebar melalui media sosial. Pelan tapi pasti, wacana yang diproduksi lewat media sosial pada gilirannya menyebar secara masif dan menghampiri hampir semua lapisan masyarakat tanpa tebang pilih. Mereka yang menekuni bidang keahlian di luar pendidikan dan sebelumnya jarang menyinggung apalagi membahas problematika seputar pendidikan pun dengan begitu mudah ikut menyoroti masalah pendidikan nasional.
Sangat disadari betapa kemajuan teknologi dan informasi merupakan media yang cukup ampuh untuk menggoyahkan kemapanan pandangan publik terhadap dinamika pendidikan nasional. Kritik demi kritik yang viral di media sosial telah melahirkan persepsi baru di masyarakat bahwa penyelenggara pendidikan nasional belum mampu menunaikan amanah konstitusi dengan baik. Cita-cita yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang 1945, “mencerdaskan kehidupan bangsa”, rupanya masih jauh dari harapan. Dalam batas-batas tertentu, penyelenggaraan pendidikan nasional juga telah dipandang berjalan agak terseok-seok, walau sudah dilakukan banyak ikhtiar untuk memperbaikinya.
Lantas, apa sajakah problem-problem fundamental yang terkait penyelenggaraan pendidikan nasional? Terkait hal ini, catatan yang disampaikan Rektor Universitas Ahmad Dahlan, Kasiyarno, dalam “Rembug Guru Muda” beberapa waktu yang lewat agaknya perlu diperhatikan secara serius. Dalam orasi ilmiahnya di hadapan guru-guru muda dan para aktivis, Kasiyarno menyampaikan beberapa pokok persoalan pendidikan nasional, yakni program wajib belajar (wajar) 12 tahun yang belum berjalan maksimal, anak putus sekolah kian meningkat, kesenjangan kualitas mutu pendidikan, peningkatan pengangguran karena terjadi mismatch dunia pendidikan dengan dunia industri, serta kekerasan di sekolah yang tak pernah kunjung surut.
Fenomena Kekerasan
Beberapa hal yang dikemukakan Kasiyarno di atas adalah problematika penting dan mendasar yang patut mendapatkan respons penanganan cepat dan sekaligus tepat. Walau demikian, pada kesempatan ini saya tidak akan mengurai persoalan-persoalan itu secara rinci, kecuali satu masalah yang dipandang krusial, yakni masalah kekerasan di sekolah. Kekerasan (di sekolah) yang dimaksud adalah tindakan agresi dan pelanggaran seperti penyiksaan dan pemukulan, yang menyebabkan orang lain menderita dan/atau meninggal dunia (KBBI, 2005). Modusnya sangat rumit diurai karena begitu kompleks. Karena itu, wali murid, peserta didik, guru terkadang masing-masing memiliki peran ganda: bisa sebagai pelaku, dan bisa pula sebagai korban.
Pilihan terhadap masalah kekerasan di sekolah didasarkan pada pertimbangan bahwa problem tersebut belakangan ini sudah mencapai ambang batas yang sangat mengkhawatirkan. Waktu demi waktu, publik acapkali dikejutkan dengan serangkaian tayangan atau berita seputar kekerasan di sekolah. Tidak hanya itu, video dokumenter yang sempat viral di media sosial mengenai kekerasan pelajar juga semakin menambah gelap wajah dunia pendidikan nasional.
Realitas itu menjadi penanda bahwa perilaku tidak santun, pelecehan terhadap hak asasi manusia dan penghormatan terhadap orang lain sedang mengalami penurunan cukup drastis di lingkungan pendidikan. Karena itu, pendidikan banyak dikritik sebagai penghasil manusia yang mudah tersinggung, toleransi tipis, kurang menghargai orang lain, serta penganut budaya anti perdamaian (Mami Hajaroh, 2010).
Satu hal yang patut disadari bersama adalah bahwa letupan kekerasan yang telah menjadi berita dan/atau sengaja dibuat viral oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab dan miskin nurani itu bagaikan fenomena gunung es. Artinya, tindak kekerasan yang mencuat ke ruang publik belakangan ini merupakan bagian kecil dari realitas yang sesungguhnya. Masih banyak tindak kekerasan di sekolah yang tidak tampak. Kendati demikian, satu hal yang pasti adalah tindak kekerasan di sekolah belakangan ini telah mengalami peningkatan yang cukup tajam. Setiap tahun, tindak kekerasan di sekolah selalu saja meningkat secara signifikan.
Pada rentang tahun 2011 sampai 2014 misalnya, telah terjadi 15.067 buah kasus kekerasan terhadap anak, dan kasus di bidang pendidikan mencapai 1.764 buah (KPAI, 14/06/2015). Selain itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2017 juga melansir data bahwa sebanyak 84% anak-anak di Indonesia mengalami tindak kekerasan di sekolah. Angka tersebut jauh lebih besar dibandingkan Vietnam (79%), Nepal (79%), Kamboja (73%), dan Pakistan (43%). Data tersebut dengan sangat jelas menunjukkan betapa Indonesia menduduki peringkat tertinggi dalam kasus kekerasan di sekolah.
Biang Kekerasan
Tindak kekerasan yang terjadi di sekolah setidaknya dapat dipetakkan ke dalam dua jenis, yaitu fisik dan non fisik (Simon Fisher, dkk. 2000). Kekerasan fisik adalah kekerasan yang secara langsung dapat dilihat atau diamati karena adanya kontak fisik antara pelaku dengan korbannya. Memukul, menampar, memalak dan lain sejenisnya adalah contoh dari kekerasan fisik. Sedangkan, kekerasan non fisik adalah kekerasan yang tidak dapat diamati secara langsung tetapi bisa dirasakan oleh pihak korban. Jenis kekerasan non fisik bisa berupa kata-kata maupun bahasa tubuh. Perilaku membentak, meneriaki, menuduh tanpa dasar merupakan beberapa contoh kekerasan non fisik yang berupa kata-kata (verbal). Sementara, contoh kekerasan non fisik dalam bentuk bahasa tubuh di antaranya adalah mendiamkan, mengucilkan dan memandang korban dengan sinis.
Di samping dapat dilihat dari sisi jenisnya, tindak kekerasan di sekolah juga dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu ringan, sedang dan berat (Abdurrahman Assegaf, 2004). Tindak kekerasan dikategorikan ringan apabila bisa langsung selesai di tempat dan tidak memicu kekerasan susulan atau aksi balas dendam dari korban. Kekerasan kategori sedang adalah kekerasan yang tidak bisa diselesaikan di internal (sekolah) dan pihak media massa mempublikasikannya ke ruang publik. Karena itu, usaha penyelesaian kekerasan kategori ini bisa dilakukan oleh pihak sekolah dengan bantuan aparat keamanan. Sedangkan kekerasan dalam kategori berat adalah kekerasan yang terjadi di luar lingkungan sekolah dan mengarah pada tindakan kriminal, seperti misal pembacokan atau bahkan pembunuhan.
Lantas, apa sajakah faktor-faktor yang menjadi biang kekerasan di sekolah? Terkait hal tersebut, Abdurrahman Assegaf (2004) mengelompokkan biang kekerasan di sekolah menjadi dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal sekolah yang dimaksud meliputi peran guru, dan peserta didik. Sedangkan, faktor eksternal yang dimaksud meliputi beberapa hal, seperti lingkungan, media massa, dan pergeseran sosial budaya di tingkat masyarakat. Faktor-faktor tersebut tentu harus diakui sebagai penyumbang potensial bagi tindak kekerasan di sekolah.
Pertama, peran guru. Sebagian pihak mungkin akan ada yang berpendapat bahwa guru tidak bisa dilibatkan sebagai penyumbang tindak kekerasan. Pendapat seperti itu boleh jadi disebabkan karena keterbatasan pemahaman tentang hakikat kekerasan yang potensial dilakukan guru, baik di dalam maupun di luar kelas. Padahal, hasil penelitian yang dilakukan UNICEF (2016) di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa tindak kekerasan guru terhadap peserta didik mencapai angka 80%. Data itu diperkuat dengan pengakuan mahasiswa di beberapa kelas yang saya ampu. Ketika mereka ditanya tentang sosok guru yang paling diingat maka jawaban umumnya adalah guru yang killer. Tentu tidak semua guru memiliki perilaku atau kepribadian seperti itu. Ada pula sosok guru yang santun sehingga menimbulkan kesan positif dan bahkan ikut serta mempengaruhi perjalanan hidup peserta didiknya (Komaruddin Hidayat, 2015).
Kendati demikian, sampai saat sekarang ini masih banyak guru yang masuk ke dalam kategori pertama: killer. Guru tipe ini umumnya masih memiliki paradigma lama di mana kekerasan dipandang sebagai cara efektif untuk mengendalikan peserta didik. Selain itu, guru tipe ini juga cenderung mengedepankan punishment atas kesalahan daripada reward karena prestasi peserta didik. Pola kekerasan yang diterapkan bisa dengan cara vulgar (fisik) atau terselubung (non fisik). Pola kekerasan seperti ini secara tidak langsung dapat berdampak terhadap pertumbuhan fisik maupun perkembangan psikologis peserta didik.
Di satu sisi, peserta didik boleh jadi akan mengikuti semua hal yang telah diperintahkan gurunya, walau pun dalam keadaan terpaksa dan penuh tekanan batin. Tetapi di sisi lain, mereka tidak tertutup kemungkinan akan berusaha mencari tempat pelampiasan untuk mengurangi kadar stress yang dialami. Jika hal ini dilakukan dalam bentuk positif tentu tidak begitu berarti, tetapi bagaimana jika justru sebaliknya? Boleh jadi, mereka akan melampiaskannya dalam bentuk kekerasan serupa atau bahkan bisa lebih parah lagi kepada peserta didik lainnya (Farid Setiawan, 2007).
Kedua, peserta didik. Kekerasan yang dilakukan peserta didik setidaknya dapat dilihat dari dua sisi, yaitu horizontal dan vertikal. Kekerasan horizontal terjadi apabila ada tindakan yang dilakukan peserta didik dengan peserta didik lain yang masuk dalam kategori teman sebayanya. Sedangkan kekerasan vertikal adalah tindak kekerasan yang dilakukan peserta didik dengan peserta didik lainnya, baik mereka yang termasuk pada kategori junior maupun senior, serta tindak kekerasan peserta didik dengan guru atau tenaga kependidikan. Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan peserta didik sangatlah beragam, bisa fisik dan non fisik. Semuanya sangat tergantung pada perilaku, konteks dan nilai kekerasan (Simon Fisher dkk, 2000) sehingga berdampak pada intimidasi atau agresi terhadap korban.
Kekerasan peserta didik terhadap guru atau tenaga kependidikan merupakan satu tindakan yang tidak lazim, walau hal itu sangat mungkin terjadi. Peristiwa pembunuhan guru oleh peserta didik atau dosen oleh mahasiswa yang belakangan sempat mencuat ke ruang publik merupakan tanda yang sangat penting untuk dijadikan indikator atas krisis moral generasi muda. Banyak motif yang dijadikan landasan peserta didik dalam melakukan tindak kekerasan itu. Namun satu hal yang pasti, peristiwa itu merupakan salah satu gejala dari generasi muda yang telah kehilangan kesehatan mental-spiritual. Petaka manusia modern ditandai dengan semakin pudarnya perilaku sopan-santun dan sikap menghormati orang yang lebih tua (guru/dosen).
Tindak kekerasan peserta didik terhadap peserta didik lainnya, seperti kepada junior, teman sebaya maupun senior, boleh jadi dipengaruhi keterbatasan wawasannya tentang hakikat kekerasan. Keterbatasan ini mengakibatkan peserta didik tidak sadar apabila dirinya sedang dan/atau telah melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain. Sekalipun ada peserta didik yang masuk kategori ini, tetapi jumlahnya tidak banyak. Jumlah yang banyak justru berada pada peserta didik yang melakukan kekerasan karena kesadaran. Mengapa? Sebab, tindak kekerasan yang secara sadar dilakukan itu tidak dapat lepas dari aspek psikologi dan perkembangan kepribadiannya.
Secara psikologis, perkembangan kepribadian peserta didik akan memasuki fase penting agar dirinya atau eksistensinya diakui orang lain. Upaya untuk menunjukkan eksistensi diri, masing-masing peserta didik biasanya akan melakukan banyak hal agar diakui, termasuk melakukan kekerasan terhadap peserta didik lainnya. Penindasan dan kekerasan yang dilakukan peserta didik seakan-akan telah menjadi suatu kebanggaan tersendiri (Farid Setiawan, 2007).
Dalam situasi seperti ini, mereka membentuk struktur sosial berdasarkan “klik” atau geng masing-masing. Di dalam kelompok sosial ini, mereka biasanya akan berusaha untuk menunjukkan eksistensi diri agar disegani, dihormati dan bahkan ditakuti. Program Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) atau yang sebelumnya dikenal dengan Masa Orientasi Siswa (MOS) sering kali dijadikan sebagai ajang menunjukkan eksistensi diri peserta didik. Jika program ini tidak ditangani langsung pihak sekolah, maka boleh jadi akan dijadikan momentum pembibitan calon anggota geng pelajar yang sarat penindasan di dalamnya.
Ketiga, lingkungan. Pada hakikatnya, lingkungan dapat dimaknai sebagai suatu situasi dan kondisi pendidikan, alam, sosial, budaya, tempat tinggal dan letak geografis yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan peserta didik. Berdasarkan konsep tersebut maka lingkungan pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa aspek, yaitu lingkungan sekitar (milieu) seperti sekolah, keluarga, alam, geografis, dan budaya. Semua aspek tersebut memiliki potensi yang sangat besar sebagai penyumbang tindak kekerasan. Hal ini diperkuat dengan gagasan Johan Galtung yang dituangkan di dalam bukunya berjudul “Studi Perdamaian” (2003). Menurutnya, seorang anak yang hidup dan kesehariannya dihadapkan dengan kekerasan, maka dia akan memandang tindak kekerasan sebagai suatu hal yang wajar dan biasa. Gagasan ini dilandasi oleh paradigm behavioristic, sebuah teori yang menyatakan bahwa perilaku (kekerasan) sangat dipengaruhi oleh lingkungannya.
Keempat, media. Beberapa kalangan mengemukakan bahwa posisi media massa pasca reformasi mengalami liberalisasi. Keadaan ini barangkali sebagai bagian dari euforia media pasca “dibungkam” rezim orde baru selama tiga puluh dua tahun. Dalam kondisi seperti ini, media pun cenderung menyampaikan pemberitaan terhadap tindak kekerasan secara vulgar. Model pemberitaan secara vulgar memang agak bisa diterima jika yang dikedepankan adalah perspektif jurnalistik dan media memiliki peran besar dalam mendidik masyarakat melalui pemberitaan.
Tetapi langkah tersebut agak kurang baik jika tindak kekerasan di sekolah di-blow-up besar-besaran, kendati hal itu masuk dalam kategori kekerasan ringan. Pada zaman orde baru akan sulit ditemukan pemberitaan media massa yang mengangkat isu tentang sikap guru yang memberikan punishment (hukuman) terhadap peserta didik. Tetapi, bagaimana dengan keadaan sekarang? Banyak orangtua yang melaporkan guru lantaran tidak terima anaknya dihukum. Padahal, hukuman merupakan bagian dari alat pendidikan paling akhir guna memperbaiki perilaku peserta didik. Fungsi hukuman bagi peserta didik sangatlah jelas, yaitu untuk membuat jera sehingga tidak mengulangi perbuatannya.
Di samping itu, kemunculan televisi dengan tayangan program-program yang sarat kekerasan juga telah menjadi tantangan tersendiri. Betapa tidak, sampai saat ini telah banyak korban di kalangan peserta didik yang berjatuhan karena meniru tayangan kekerasan dari televisi. Dalam konteks ini perlu dipahami betapa peserta didik adalah sosok peniru ulung. Dia akan menyerap dan mengikuti tindak kekerasan yang telah ditonton di layar kaca. Dalam bahasa Hikmat Budiman (2000), dia (peserta didik) tidak sadar betapa gaya hidup, tutur kata hingga perilakunya adalah cerminan dari tayangan-tayangan yang telah ditonton di televisi. Dalam posisi seperti ini, kehadiran televisi telah menjadi tantangan tersendiri bagi pihak sekolah, sebab boleh jadi peran-perannya dalam “mendidik” peserta didik telah diambil-alih oleh televisi.
Beberapa hal yang dikemukakan di atas merupakan faktor-faktor dominan yang menjadi penyebab kekerasan di sekolah. Faktor-faktor tersebut tentu masih perlu diurai secara memadai sehingga bisa ditemukan langkah-langkah cepat dan tepat untuk menanggulangi atau mengantisipasi tindak kekerasan di sekolah. Perlu diketahui bahwa setiap tindak kekerasan, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak, akan dapat melahirkan kekerasan baru yang boleh jadi modusnya jauh lebih berat. Oleh karena itu, spiral kekerasan di sekolah perlu dipangkas atau dihilangkan sampai ke akar-akarnya. Mari kita lawan kekerasan di sekolah dengan tanpa kekerasan!
Bagaimana caranya? Tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencegah tindak kekerasan di sekolah, salah satunya adalah penerapan pendidikan damai. Dalam Lembar Kerja UNICEF tahun 1999 sebagaimana dikutip Abdurrahman Assegaf (2004) disebutkan bahwa pendidikan damai bisa dilakukan lewat beberapa aspek, di antaranya (1) mengembangkan iklim belajar yang damai dan disertai perilaku saling menghargai; (2) menunjukkan prinsip persamaan dan tanpa diskriminasi bagi semua warga sekolah; (3) menangani konflik (kekerasan) dengan cara menghormati hak dan martabat pihak-pihak yang terlibat; (4) mengembangkan kurikulum berbasis pendidikan perdamaian, hak asasi manusia dan keadilan sosial; (5) menyediakan forum diskusi tentang nilai-nilai damai dan keadilan sosial; (6) memanfaatkan metode pembelajaran dengan menekankan partisipasi dan problem solving untuk menghargai perbedaan; dan (7) membiasakan peserta didik mengamalkan perilaku damai, baik di lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat.
Beberapa cara tentang pendidikan damai di atas tentu menjadi sangat mendesak untuk diimplementasikan di sekolah. Penerapan pendidikan damai di sekolah tidak saja dapat melahirkan generasi muda yang cerdas secara rasional (intelektual), tetapi juga emosional, sosial dan juga spiritual. Generasi muda yang memiliki kecerdasan seperti itu merupakan cerminan dari generasi yang beradab. Ikhtiar untuk melahirkan generasi yang beradab adalah sebuah catatan penting untuk direfleksikan dan dipikirkan dalam momentum peringatan Hardiknas kali ini. Sila Kedua Pancasila: “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” perlu ditanamkan secara serius di dalam lingkungan sekolah. Jangan sampai tindak kekerasan para “preman berseragam” dibiarkan berlarut-larut, sebab hal itu adalah cermin dari manusia barbar dan nirperadaban. Selamat Hardiknas!
0 komentar