Khilaf Yang Dinantikan
Sastra

Entah ini malam yang keberapa puluh kali. Terjaga, terbangun, dan terpaku dalam diam di jam-jam yang nyaris sama. Memandang wajah polos menggemaskan yang lelap dalam mimpinya. Sunggingan bibirnya seolah mengabarkan dia berada dalam zona mimpi bahagia. Menatap lekat lebih dekat, aroma tubuh mungil gempal yang selalu sukses membuatku menghujami ciuman berulang. Geliat tubuhnya mengisyaratkan kalau ciumanku yang bertubi telah mengusik indah mimpinya. Aku pun sudahi dengan menghadiahi tepukan lem
Entah ini malam yang keberapa puluh kali. Terjaga, terbangun, dan terpaku dalam diam di jam-jam yang nyaris sama. Memandang wajah polos menggemaskan yang lelap dalam mimpinya. Sunggingan bibirnya seolah mengabarkan dia berada dalam zona mimpi bahagia. Menatap lekat lebih dekat, aroma tubuh mungil gempal yang selalu sukses membuatku menghujami ciuman berulang. Geliat tubuhnya mengisyaratkan kalau ciumanku yang bertubi telah mengusik indah mimpinya. Aku pun sudahi dengan menghadiahi tepukan lembut di pipi dan mendaratkan belaian dirambut lebatnya. Kini bulu mata lentik itu pun kembali terpejam sempurna. Mengejar lanjutan mimpi yang mungkin sempat terhenti.
Masih tak beralih nentra ini dalam temaram lampu sudut kamar, menatap tubuh mungil yang berselimut itu. Setiap memandangnya ada desir dua arus yang mengalir deras, namun berlawanan arah satu sama lainnya. Usianya baru 3 tahun 5 bulan tepat pada akhir agustus tahun ini. Pastinya sangat butuh dua sosok figur orang tua yang utuh. Akankah ku sanggup merampas senyum cerianya? Akankah ku tega membuang gelak tawa bahagia saat bercengkrama dengan kami selaku orang tuannya, saat salah satunya tak bisa lagi bersama di sampingnya dalam waktu bersamaan?
Sanggupkah aku terpisah berhari-hari lamanya dari Rafasyah Ramadan. Delapan jam ku tinggal kerja saja, sering ku tak mampu membendung rindu dan terpaksa pamit pulang lebih awal dengan berbagai alasan demi bisa segera pulang dan memeluknya. Berpuluh tahun menantikan hadirnya. Penuh drama, tragedi beragam usaha dan ikhtiar yang kami lakukan. Aku yang hanya guru honorer di suatu sekolah dekat rumah dengan upah hanya sekitar tujuh ratus ribu perbulannya. Tetap bertahan mengajar demi berbagai alasan.
Suamiku pegawai di salah satu perusahaan BUMN negeri ini. Berawal sebagai pegawai honor dengan gaji lumayan sesuai UMR Ibu Kota hingga lolos seleksi menjadi Pegawai Aparatur Negara. Pekerjaan suami dalam bidang minyak dan gas. Jabatan mejadi Company Man (perwakilan perusahaan pemilik sumur yang memberi keputusan dan bersama mengawasi operasi pengeboran minyak). Tanggung jawabnya sangat besar dan merupakan posisi tertinggi di Rig. Di memastikan agar operasi Rig berjalan lancar dan aman, sesuai dengan program yang diberikan oleh Drilling superintendent/Drilling Engineer di Kota (kantor). Hal itu menuntutnya selalu keluar kota atau ke lepas pantai bisa satu bulan sampai dua bulan lamanya, tergantung pergiliran jadwal kerja dan sikon lapangan. Hal mengasyikannya jika setelah tugas, maka akan off di rumah sebelum ada panggilan dari kantor untuk giliran berangkat ke lapangan lagi.
Alhamdulillah dari tahun ke tahun dengan menguatnya posisi suami di perusahan berbanding lurus dengan penghasilan yang di terimanya dalam tiap gajian. Satu demi satu Allah kabulkan harapan, mimpi, dan doa kami terwujud. Bisa punya kendaraan roda dua sendiri walau dengan nyicil. Suami dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang strata satu. Allah pun mampukan kami secara bertahap membangun rumah di atas tanah pemberian mertua.
Kami menikah sejak 14 tahun silam. Drama pertemuan yang unik dimomen perkemahan jelang perayaan Hut Pramuka. Saya selaku pembina pramuka putri dari sekolah ditugaskan tetap membawa pasukan putra dan putri walaupun pembina putra saat itu berhalangan hadir karena sakit. Atas izin sekolah, maka saya membawa 2 pelatih putra untuk mendampingi anak-anak selama kegiatan perkemahan yang di selenggarakan gugus pramuka tingkat kecamatan. Kegiatan ini diikuti seluruh sekolahan negeri maupun swasta dari tingkat Sekolah Dasar sampai tingkat Sekolah Menengah Atas se-kecamatan di tempat kami. Pada kesempatan ini pula, diriku dipercaya ikut andil sebagai panitia pelaksana perkemahan, persisnya sebagai bendahara kegiatan.
Pada malam terakhir perkemahan selalu diagendakan acara api unggun. Malam yang ditunggu dan dinantikan oleh semua peserta dan juga orang tua siswa, karena malam yang biasanya full di isi penampilan pensi (pentas seni) sehingga menjadi malam yang menyenangkan. Tentu saja bahagia karena akan segera pulang esok harinya setelah melakukan seremonial upacara Hut Pramuka dan menanti pengumuman para pemenang lomba-lomba selama kegiatan. Umumnya orang tua siswa akan ada banyak yang datang guna menyaksikan malam api unggun ini, termasuk masyarakat sekitar perkemahan.
Malam itu, ba’dha magrib. Muhadi (salah satu pelatih pramuka yang ku bawa mendampingi regu pramuka sekolahkan kami) pamit hendak pulang mengambil sesuatu hal untuk penampilan pentas seni regu kami.
“Bu, izin saya mau pulang dulu hanya sebentar mau mengampil perlengkapan pensi yang tertinggal di rumah saya”, pamitnya kala itu.
“Boleh, tapi bener ya sesegera mungkin balik lagi..,” pintaku.
“Siappp komandan...”, ujarnya dengan kocak senyum mengembang.
Hanya selang sepuluh menitan, muhadi kembali dan tak sendiri. Tergopoh-gopoh sambil di iringi beberapa anak laki-laki pramuka dari sekolah kami. Mereka mendatangi diriku yang saat itu memang masih di berada di tenda panitia. Aku masih di situ, karena memang sedang membahas persiapan pelaksanaan pensi dan api unggun malam itu.
“ Bu..bu..ibu Fauziyah..” seru anak-anak memanggil namaku dari luar tenda. Diskusi panitia pun terhenti seketika.
“Bu..ibu..mo..torku hi..lang..” ucap muhadi terbata sambil mendekat ke diriku. Seisi tenda nyaris kompak berseru “Astagfirullah...” tanpa dikomando serempak berdiri demi mendengar kabar demikian.
“Inna lillahi wa inna illaihiroji’un..”, ucapku pelan seraya mengatupkan kedua tangan kemulut, serasa nyaris hilang tenaga secara sekejap. Diriku yang sedari tadi fasih menerangkan dan menjelaskan ke panitia kaitan acara api unggun, tetiba kini mulutku kelu, entah harus menenangkan muhadi dengan cara apa, dengan rangkaian kalimat yang bagaimana? Bagaimana jika motor muhadi benar-benar hilang tak ketemukan? Apa yang harus ku perbuat?
Muhadi adalah anak buahku. Dia ikut acara ini aku yang mengajak atau memintanya. Aku juga sebagai bendahara dalam kegiatan perkemahan ini. Apa yang harus ku sampaikan ke muhadi, ke orang tua muhadi, ke sekolahku tempatku mengajar, ke orang tuaku, dan ke panitia lainnya..? siapa saja yang harus ikut bertanggung jawab membantu ganti rugi hilangnya motor itu? Berapa kisaran yang pantas? Darimana dananya? Allahu Akbar.. badanku tetiba serasa tak bertulang, limbung dihujami sekian banyak lintasan pertanyaan yang berseliweran. Beruntung Bu Hani sekretaris panitia yang bertubuh subur berdiri disampingku dengan cekatan menopang tubuh mungil ini agar tak ambruk. Teman yang lainnya spontan mengambilkan air mineral di dekatnya dan menyodorkannya ke diriku. Setelah beberapa teguk sedikit membantuku kembali menguatkan diri.
“Di, apa sudah kamu cari dengan teliti, barangkali motormu tergeser dengan tidak sengaja oleh orang yang mengambil motor yang terhalang motormu..”, tanya Pak Sholihin ketua panitia penuh selidik.
“Sudah Pak, malahan tadi juga sudah dibantu oleh mereka ini sebelum saya datang ke sini untuk mengabari hilangnya motor saya”, jawab muhadi dan di iyakan dengan anggukan anak-anak tadi datang bersamanya. Spontan kami bergegas ke parkiran untuk memastikan secara langsung. Awalnya aku disarankan untuk tetap berada di tenda panitia bersama tim jaga. Mereka seolah mengetahui adukan kecamuk dalam diri ini. Mereka khawatir aku tambah drop jika harus capek mencari. Namun aku tetap bersikukuh ingin ikut serta sebagai bentuk rasa empati dan tanggung jawabku.
Kami pun menuju parkiran dan berpencar, setelah sebelumya mencatat plat nomor dan ciri khusus sepeda motor muhadi yang hilang. Muhadi minta tolong meminjam hp ku untuk menghubungi keluarganya (tepatnya kakaknya) untuk mengabari kejadian ini. Kakak muhadi pun datang. Penampilan sederhana hanya mengenakan kaos oblong putih polos dan kain sarung bawahannya. Tutur katanya tetap santun terjaga, tanpa ada umpatan apalagi sumpah serapah. Ujaran kekesalan pun nyaris tidak terdengar, tidak ada pula kata-kata menyalahkan panitia maupun adiknya.
Skenario Allah amat indah, begitu sempurna. Pencuri belum jauh. Motor susah dihidupkan, ada sekelompok orang tua siswa yang hendak ke perkemahan, melihat gelagat mencurigakan orang menuntun sepeda motor, dihampiri malah si pencuri lari dan sepeda motor ditinggalkan. Oleh para orang tua siswa sepeda motor diserahkan ke panitia. Alhamdullllah motor ketemu, semua lega, semua bahagia.
Momen itulah menjadi titik awal komunikasiku dengan lelaki berpenampilan sederhana itu. Lelaki yang lewat karakter sesaat yang dia tampakan membuat hatiku memanjatkan doa pada Maha Pemilik kehidupan “Rabbi, lelaki seperti ini yang ku inginkan menjadi pendamping hidupku, lelaki penyabar”, bisik suara hatiku tak terlisankan. Sungguh nyatanya Allah Maha Mendengar, sebab tiga bulan berikutnya dia melamarku dan sebulan kemudian kita melangsungkan akad nikah nan sederhana pula.
Kejadian itu sudah sebulan lalu. Ya, kejadian yang kini membuatku mengalami imsomnia tak berkesudahan. Tepat di hari ahad sore tanggal 19 Juli dia bertolak dari rumah menuju ibu kota, sendirian mengendarai roda empat. Tempat tujuan pertama langsung ke hotel yang sudah dipesankan oleh pihak kantor untuk dia menginap selama 5 hari kegiatan pelatihan berlangsung. Sebuah hotel bintang 3 di bilangan Mampang Jakarta Selatan, kurang dari sepuluh menit berjalan kaki menuju tempat pelatihan. Pelatihan yang sudah pernah di ikuti suami 2 kali sebelumnya. Suatu pelatihan berkala perdua tahun sekali guna meng upgrade kemampuan skill yang harus dimiliki oleh para karyawan di tempat suami bekerja. Biasanya yang utusan kantor yang mengikuti 4-5 orang, kali ini hanya suamiku saja dari kantornya. Beberapa temanya yang lain sudah mengikuti pada pekan dan bulan sebalumnya (pas bertepatan suami masih di lepas pantai sehingga tidak memungkinkan ikut saat itu). Suami harus ikut seorang diri, nginep di hotel pun sekamar juga seorang diri pastinya. Sungguh tidak ada yang kebetulan, sebab sesunguhnya telah Allah tetapkan segala yang terjadi di muka bumi ini. Termasuk dengan kisah lelaki sholehku.
Rabu malam kamis, aku dan Rafa terlelap dari sore. Selepas isya ku tak mampu menahan kantuk. Menyusul ali yang telah nyenyak sedari magrib tiba. Dua malam sebelumnya kami lewati dengan susah payah memeluk malam dengan sempurna menutup netra. Terlebih diri ini, yang mana asam lambung serasa memuncak ke dada, sesak nafas hingga jam dua dini hari baru sedikit lega. Mampu tertidur setelah memasak air untuk dimasukan ke botol kaca lalu ku tempel-tepelkan ke area perut dan dada untuk mengurangi sesak yang ada. Saat angin keluar berulang kali lewat kentut, rasanya nikmat luar biasa. Hal ini berulang berturut selama dua malam sebelumnya.
Malam ini ku terbangun setelah terlelap cukup lama dari sore tadi. Ku lirik jam dimeja, pukul 23: 45. Rafa merengek terbangun minta minum susu. Setelah ku buatkan sebotol penuh dan dia habiskan dirinya kembali tenggelam dalam mimpinya. Aku pun hendak melanjutkan nikmatnya merapatkan kembali kelopak mata ini. Tetiba ku lihat layar hp di meja berkedip-kedip berulang kali. Setengah rasa kantuk yang tersisa lenyap begitu saja saat ku tengok layar dan ku baca nama yang tertera ‘Abi Rafa’, nama kontak suamiku. Tengah malam dia menelpon, pastinya ada hal darurat atau kabar mendesak apa gerangan? Secepat kilat ku sambar hp di meja dan ku sibak ikon biru gagang telepon di layar.
“Assalamu’alaikum..”, tak sabar ku langsung ucap salam terlebih dahulu.
“Wa’alaikumsalam De..”, terdengar jawaban di seberang. Ku tajamkan pendengaran tak salah lagi suara itu suara yang amat lekat dan hafal betul, benar itu suara suamiku. Ada rasa sedikit lega, namun khawatir kembali menguasai terlebih saat kalimat yang suami ucapkan terasa parau.
“De.. maafin mas ya, sungguh mas khilaf”, ujar suami dengan sangat pelan dan hati-hati sekali mengucapkannya.
Berbanding terbalik dengan yang ku rasa. Kantuk benar-benar telah pergi dengan sempurna. Berganti riuh berjibun, berseliweran praduga, telah terjadi peristiwa apa? Di tengah malam buta sehingga suamiku menungkapkan permintaan maaf.
Dia nun jauh di sana, 195 KM lebih jarak terbentang diantara kami. Butuh waktu 3-4 jam kondisi lancar lamanya untuk sampai ke ibu kota tepatnya di bilangan Mampang Jakarta Selatan. Dia sedang bermalam di hotel telah empat malam ini sisa semalam lagi. Jumat siang setelah selesai test uji kompetensi dia akan langsung bertolak pulang. Lalu ada apa gerangan??
Ada lintasan prasangka buruk tebal yang sungguh ingin ku tepis. Ku yakin suamiku adalah lelaki baik nan sholeh. Lelaki yang rajin menjadi jama’ah di musala, rutin ikut kajian mingguan bapak-bapak di mushola dekat rumah. Dzikir, ngaji, tiap salat lima waktu menjadi amalan kebisaan yang dilakukan. Itu nampak selama di rumah dan selama puluhan tahun ku membersamainya. Aku pun banyak kenal rekan-rekan kerja suami yang kebetulan satu kampus dan satu kampung di belahan yang berbeda di kota pantura tercinta. Mereka para lelaki baik dan penyayang keluarga.
Terjeda dialog kami. Saling diam, bingung, bimbang. Aku terhanyut sesaat oleh alibi-alibi rancau, nalarku merayap menacari sinar terang.
“De..”, panggilnya, masih dengan suara parau nan sendu.
“Iya mas, ada apa kok tetiba minta maaf di tengah malam seperti ini?” jawabku jelas dengan penuh rasa tanya yang begitu menggedor rasa jiwaku yang telah mulai lunglai oleh imajinasiku.
Kemudian suami cerita, bahwa tadi sore saat dia keluar hotel, bersamaan dengan seorang pria ketemu di lobi yang mengaku juga menginap di hotel yag sama. Mereka berkenalan ala kadarnya sambil menuju pecel lamongan di seberang hotel. Sesaat setelah makan suami pamit duluan kembali ke hotel karena harus menyelesaikan tugas belajar demi sukses test uji kompetensi yang akan di ikutinya. Tanpa ada rasa curiga suami pun memberitahukan nomor kamar tempat dia istrihat di hotel tersebut kala lelaki tersebut menanyakannya.
Menurut pengakuan dia. Setelah setelah kelar tunaikan sholat isya kemudian kembali melanjutkan ‘belajar’ membaca dan berlatih soal-soal prediksi ujian. Tetiba pintu kamar ada yang mengetuk. Lagi-lagi tanpa curiga lansung dia buka. Ada sesosok wanita usia belia, wajah manis bibir merah senyum merekah. Pakaian yang dikenakannya cukup membuat degup jantung lelaki normal berdetak lebih kencang. Terpana, terpesona, serasa mimpi didatangi bidadari nan seksi malam hari pas di kamar lagi sendiri. Si wanita meminta masuk katanya ada perlu sebentar, mengulurkan tangan, sedikit mendorong hingga si lelaki tak kuasa menolak apalagi berbuat kasar untuk mengusirnya.
Sungguh sebenarnya kisah yang diceritakan suami sulit ku rangkai benang merahnya. Katanya mereka ngobrol duduk di kursi (padahal hari sebelumnya video call, di kamar hotel itu hanya ada satu kursi kecil di depan meja baca yang ada di salah satu sudut kamar. Menurut penuturan suami, bahwa si wanita itu bercerita meminta tolong butuh uang buat pengobatan ibunya yang sedang di rumah sakit. Si wanita sengaja mencari ‘mangsa’.
Masih menurut katanya suami, dia merasa kasihan. Tanpa berniat apa pun, dia mentransfer awal lima ratus ribu buat bantuan. Tapi kata si wanita uang segitu kurang buat bayar rawat inap orang tuannya. Serasa dalam pengaruh magic suami mentransfer hingga 5x yang totalnya lima jutaan, nyaris setara gaji pokok sebulan. Suami baru menyadari saat si wanita pamit pergi dan dia menerima notifikasi sms banking di layar pipihnya. Masih menurut pengakuannya, tak terjadi hal macam-macam antara dia dan si wanita. Jujur hatiku nggak yakin sepenuhnya, namun ku berusaha mengiyakan agar sedikit memberikan ketenangan padanya.
“Maafin mas ya De.., mas khilaf. Mas nggak bisa menolak dia dari awal agar nggak masuk kamar sehingga sejumlah uang melayang dan nyaris pula terjadi hal terlarang”, ujarnya seolah penuh penyesalan. Tak hanya lewat telepon, dia pun ungkapkan secara langsung saat sampai rumah permintaan maaf atas keteledoran dan kekhilafannya itu.
Ada koyak di sudut hati ini. Ada serpihan retak bertebaran dalam jiwa. Allah yang Maha tahu apa yang sebenarnya terjadi. Benarkah dia kena hipnotis? Benarkah mereka nggak ngapain-ngapain? Lima kali transaksi sms banking tak ada adegan layaknya di film-film. Ya Allah jauhkan aku dari berburuk sangka.
Sabtu malam dia telah sampai rumah pukul sembilan malam. Setelah makan, membersihkan badan dia meminta untuk istirahat duluan. Aku tak keberatan pastinya dia lelah nyetir seorang diri dari Jakarta ke Pantura dengan kondisi pikiran dan hati yang bermasalah pula. Menunggu beberapa saat agar dia benar-benar lelap, kemudian diriku mulai melancarkan aksiku. Ku ambil layar pipihnya, ku bawa ke ruang mushola dan mulai ku buka-buka. Pesan bisa, berbagai inbok medsosnya, dan notifikasi sms bangkingnya. Deru nafasku kian memburu dan mengharu biru. Saat ku temukan banyak sisa chat yang tercecer sebagian pesan lainnya telah terhapus. Layaknya kepingan puzzel, ku memeras otak keras untuk menghubungkan dioalog sumbang yang satu dengan yang lainnya.
Letupan-letupan tak tertahan. Bara api tak lagi dalam sekam. Kini telah menyala saat angin-angin bertiup dari segala penjuru arah. Bahkan transaksi ganjil ku temukan tak hanya di malam dia mengabarkan dan memberikan satu narasi cerita hipnotis. Ada transaksi tengah malam sejak pertama dia menginap. Semua nomor rekening penerima adalah nama wanita. Ada tiga nama wanita. Ku kirim fail-fail itu ke nomor hpku dan ku hapus jejak pengiriman dari di hpnya. Ku akan tanyakan nanti menunggu sikon memungkinkan.
Ulahku mencuri kesempatan saat di tidur lalu ku oprek-oprek lagi hpnya tidak hanya sekali dua kali. Berulang kali entah siang atau malam, pokoknya saat dia lelap agar aku leluasa membuka berbagai ruang penyimpanan di layar pipihnya. Nyala api kini telah membakar habis sekam dihatiku. Diriku tak mampu lagi menahan segala gundah, letupan cemburu, kecewa tak terkira. Aku kirim ulang semua bukti digital yang ku temukan hingga hingga nota pembelian sate kambing yang ku temukan di salah satu saku celananya saat akan ku cuci pun ku tunjukan.
Feelingku terbukti. Suamiku telah mengkhianati, tepatnya berencana melakukan pengkhianatan. Dia akhirnya mau mengakui bahwa ceritanya pertama yang ia sampaikan di tengah malam adalah kebohongan. Dia mengakui kalau selama ini dia punya aplikasi yang oleh banyak orang berisi konten protitusi online. Dia mengunduhnya karena penasaran banyak rekan lelakinya yang membahas tentang aplikasi tersebut. Hanya saja kalau dia di rumah aplikasi itu sengaja di hapus. Sisi liar lelaki saat jauh dari rumah di lautan lepas yang 99,99% pekerjanya lelaki semua. Tidak bisa dihindari melihat gambar atau video yang tak halal dan seharusnya nggak dilihat.
Entah dapat bisikan semacam apa hingga hatinya tergerak memanfaatkan sikon yang ada untuk mencoba melakukan chat dengan para wanita yang ada di aplikasi tersebut. Niat coba-cobanya berbuah petaka. Ngakunya uang telah ditransfer sebanyak itu, namun si wanita nggak ada yang datang. Entahlah, apakah narasi ini pun benar atau akan di anulir lagi sebagai ‘kebohongan’ saat ku temukan bukti lanjutan nantinya?
“Cluit...glugaaaar...” kilatan petir dan dentumannya sempurna membangunkanku dari lamunan panjang berjam-jam hanyut terseret peritiwa sebulan silam. Sejurus kemudian hujan mengguyur Bumi Pasundan. Ku raih layar yang pipih yang berkedip di atas meja, alarm pukul empat pagi.
Berisut memungut selimut yang jatuh di lantai oleh jejakan kaki lelaki kecilku. Berlanjut ku ayun langkah kaki ke kamar mandi, ambil air wudhu dan melanjutkan gemuruh lahar hangat mengalir di pipi bersaing dengan derasnya curah hujan dari langit. Isakku menjadi kedap suara olehnya. Usai dirikan sholat malam kini berlanjut curhat di atas bentangan sajadah tak berkesudahan.
Mengadukan semua rasa. Menumpahkan segala sesak dada. Memuntahkan keruwetan dalam alam nalar yang telah keruh. Memohon kelapangan, kelegaan, keluasan, dan kekuatan untuk melanjutakan kehidupan lewat jalan bersama ataukah sendiri yang terbaik menurut pemilik tahta dunia akhirat.
Suamiku telah bohong di awal, apakah di narasi kedua ia benar berkisah jujur? Yakin nggak bohong lagi? Bimbang ini masih terus mengelayut tak mau terlepas.
Manusia memang tak sempurna. Setiap insan punya sisi baik dan buruk, benar adanya. Setiap kita punya masa lalu ataupun suatu aib masing-masing, kita tak tahu karena Allah menutupinya.
Diriku malah merasa ini bukan khilaf, namun kesengajaan yang belum berhasil sesuai harapannya (kalau merujuk narasinya, bahwa si wanita telah dibayar tapi nggak ada yang datang). Suamiku kesel, kecewa, udah niat salah, malah si wanita menipunya hanya melayani via chat minta transaksi tranfer uang dulu tapi si wanita tak datang. Jadi suami rugi berlipat-lipat kali ya. Ya rugi udah niat dan telah melakukan proses penghianatan, rugi uang udah melayang, rugi nggak dapat servis, rugi tetap berantem dengan istri, rugi malu, dan dosa pula.
Kecewaku teramat sangat dalam padanya. Lelaki yang sholeh dimataku bisa seiseng dan senekad itu. Melakukan hal yang tak pernah terbersit secuil pun dalam logikaku. Mampukah aku menjalani hidup bersama tanpa bayang-banyang kejadian ini? Kepercayaanku benar-benar tak hanya konyak namun lebur menjadi serpihan tak berwujud dan serasa tak sanggup ku susun lagi. Namun, di sisi lain aku tak mampu dan tak sanggup terpisah dengan Rafa. Putra yang baru semata wayang yang hadirnya puluhan tahun kami nantikan. Rabbi tolonglahlah hamba yang lemah ini.
Terbukti nyata, betapa amat penting menjaga kepuasan mata dan birahi lelaki normal. Sesholeh apa pun manusia selalu ada sisi lemahnya. Hanya karena pas momen dia berangkat tugas sepekan dengan sendirian di hotel aku tak ngasih ‘jatah’ karena lagi datang bulan efeknya teramat fatal. Berarti apapun caranya sebelum suami pergi lama, puaskan terlebih dahulu batin kelelakiannya.
0 komentar