Kelam dan hitam menjadi julukan untuk bulan September. Tragedi pembantaian pada tahun 1965 menjadi catatan sejarah yang belumuran darah. Insiden kelam yang terjadi pada masa orde baru hingga masa reformasi belum juga diselesaikan oleh negara.
Sejarah hitam yang pernah dialami bangsa Indonesia, menjadi kewaspadaan nasional agar kejadian kelam yang belumuran darah tidak terulang kembali. Tepat 30 September 1965 menjadi sejarah resmi yang menewaskan 6 jenderal. Lebih dari 1juta orang menjadi korban pembantaian, penahanan, pemerkosaan, penghilangan paksa, dan pembuangan.
Sampai akhirnya Jenderal Soeharto turun tangan, menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mengotaki dan melakukan pembunuhan tersebut. Dicanangkannya bahwa PKI harus diganyang untuk menyelamatkan bangsa. Persoalan PKI sampai hari ini masih menjadi hal yang kontroversi, fitnah dan dusta keji yang terjadi di lubang buaya belum diusut secara tuntas.
Media-media yang menuliskan perempuan dari organisasi Gerakan Wanita Nasional Indonesia (Gerwani) yang melakukan pesta seks bebas, menarikan tari seksual, menetaskan tarian cabul, bahkan merayu, memotong kemaluan serta membunuh, termasuk mencungkil mata para perwira di bantah oleh Lidya Apriliani melalui jurnalnya yang berjudul “Konstruksi Perempuan Jalang terhadap Gerwani dalam Korban ‘Berita Yudha’ dan Angkatan Bersendjata pasca G-30-S sebagai Kekerasan Berbasis Gender”.
Ia menuliskan bahwa Gerwani bukan tukang potong alat kelamin jenderal, bahkan itu hanya rekayasa koran-koran Angkatan Darat (AD). Bersamaan dengan Saskia E. Wieringa, salah satu profesor Universitas Amsterdam yang melakukan riset selama 35 tahun dan mengungkap kejadian 1965.
Wieringa menyatakan bahwa, tarian telanjang itu tidak pernah ada, kemaluan jenderal masih tetap ada saat mereka dibunuh, secara terang-terangan dalam pernyataan terbuka di Den Haag, Belanda pada 10-13 November ia menyatakan para jenderal dibunuh oleh tentara. Memang, fitnah yang menimpa Gerwani berlangsung secara sistematis dan meluas. Kedekatan Gerwani dengan PKI diberi stigma sebagai organisasi yang dikambing hitamkan pada peristiwa 1965.
Penanaman stigma PKI adalah orang yang biadab menjadi bentuk justifikasi dan legitimasi untuk membunuh anggota, kolega maupun kelurga yang tekait dengan PKI. Terlepas dengan kedekatan Gerwani dengan PKI, bahwasaannya Gerwani merupakan organisasi independen yang merujuk pada persoalan nasionalisme, feminisime dan sosialisme. Bahkan hak-hak buruh pun termasuk.
Namun nyatanya, mereka yang terlibat dalam kegiatan Gerwani ikut dibunuh, diperkosa bahkan dipenjarakan. Bahkan Soeharto menyebut Gerwani ialah organisasi pengganggu yang bertindak amoral.Tepat 1 Juni 1945 menjadi hari lahirnya pancasila, artinya sejak 1945 bangsa Indonesia sudah memiliki landasan dalam berbangsa.
Tetapi peristiwa kelam dan hitam yang terjadi pada tahun 1965 menunjukan betapa lumpuhnya pancasila, hingga menyebabkan 10 perempuan tertuduh menjadi korban biadab para tentara.Pertama, Rusminah yang merupakan Istri dari aktivis PKI ditangkap, ditahan selama 5 bulan, setiap malam Rusminah dipanggil oleh para penjaga pos diminta untuk memijat, bahkan memuaskan nafsu seks para penjaga.
Kedua, Partini salah satu aktivis Gerwani, yang ditangkap 5 tentara sehabis menyusui bayinya yang baru lahir beberapa hari, tidak diberi makan, minum, dilempar kedalam truk dengan tidak beradab hingga Partini mengalami pendarahan pasca melahirkan bayinya. Ditempatkan pada sel yang melebihi kapasitas, hingga ia demam dan tubuhnya ditindah seorang laki-laki dan melakukan kejahatan seksual yang tak pantas.
Ketiga Yanti, Penjual sayur dan buah. Perempuan berusia 14 tahun yang masih menduduki bangku SMP ini digiring ke tanah lapang, disuruh melepas baju tanpa sehelai benang yang menutupi tubuhnya, dipukuli dengan popor bedil, disiksa hingga berdarah dan pasrah.
Keempat Maryati, anggota Gerwani sekaligus guru yang ditangkap dan tidak diberi makan selama 3 hari, kaki dan tangannya diikat ketat. Siang dan malam Maryati menjadi pelayan nafsu birahi para tentara.
Kelima, sukarti seorang aktivis serikat buruh yang diperkosa oleh beberapa pemuda dirumahnya, diarak dalam keadaan tanpa busana sehelaipun, digiring ke kantor polisi yang berjarak 5km. Keenam Sudarsi, aktivis mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) jurusan Bahasa Inggris, yang ditangkap dan disergap lalu setiap malam dipanggil untuk bon malam memenuhi birahi para penjaga.
Ketujuh Dosen Universitas bernama Sus, yang setiap malam dipaksa menjadi budak nafsu perwira. Kedelapan, Suparti, aktvis Barisan Tani Indonesia (BTI) yang dimasukan kesebuah ruangan, diminta telanjang dan disiksa selama dua hari dan diperkosa sebanyak 5 kali.
Kesembilan, Badriyah aktivis Gerwani yang hari pertama hingga hari keempat penangkapan di bawa ke tangsi tentara dan di introgasi, lalu hari kelima Badriyah diintrogasi oleh tiga tentara dengan kondisi tanpa busana. Ia juga disiksa dengan disetrum pada bagian yang sensitif.
Dan yang ke sepuluh, ada Darmi seorang penari Bali, rumahnya dibakar, suami dan mertuanya mati tepat dihadapannya. Darmi dan anaknya diarak keliling desa dengan bertempelkan karton yang tersemat kata-kata buruk. Anaknya dibawa entah kemana dan ia diminta menari tanpa busana diatas meja.
10 perempuan yang menjadi korban tuduhan tewasnya 6 jenderal menjadi tanggung jawab siapa? Dimana peran pancasila pada saat itu? Hingga lahirnya 1 Oktober menjadi Hari Kesaktian Pancasila, yang betujuan untuk bangsa yang maju dan bahagia.
Namun tetap saja, sejarah yang kelam dan berlumur darah mempertanyakan dimana peran negara sampai hari ini? Bukan hanya mempertanyakan persoalan PKI atau bukan yang menjadi dalangnya. Tetapi lagi-lagi, sejauh mana negara mampu menjawab peristiwa yang membabi buta, berbuat keji terhadap perempuan sekaligus nyawa para jenderal yang tidak bertanggung jawab sampai hari ini.
Kejadian yang menimpa 10 perempuan pada saat itu masih terus terjadi sampai hari ini, hanya eranya yang berbeda. Pelecehan seksual terhadap perempuan serta meruaknya kaum predator dapat dikatakan sejak 1965 hingga sekarang terus membabi buta.
Terhitung sejak 5 tahun yang lalu, Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan. Pada 2015 terdapat 6.499 kasus, 2016 sebanyak 5.799 kasus, 2017 tercatat ada 2.979 kasus, 2018 mengalamai kenaikan 14% dari tahun sebelumnya, yaitu 406.178 kasus. Dilanjut 2019 yang terdapat 431.471 kasus, dan per 18 Agustus 2020 jumlah kekerasan seksual meningkat sebanyak 40% selama pandemi, dengan jumlah sebanyak 4.833 kasus.
Dilansir dari berita Terkini.id, Makassar pada tanggal 21 September 2020 bahwa seorang gadis dibawa oknum polisi ke hotel dan diperkosa karna melanggar lalu lintas. Seorang siswi yang berusia 15 tahun ini dipaksa untuk mengikuti kemauan oknum polisi, serta pelaku mencekoki minuman kepada korban, lalu memperkosa dan meninggalkan korban.
Data diatas menunjukkan, betapa bobroknya negara dalam melindungi perempuan Indonesia. Perlakuan keji yang terjadi pada perempuan pada tahun 1965 masih berlaku sampai sekarang, hukum yang tumpul, penindasan yang makin marak terus terjadi kepada perempuan. Bung Karno menyatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan.
Namun, yang harus dipahami, jika Indonesia ingin menjadi bangsa yang besar, seharusnya hukuman atau perbuatan biadab dengan melakukan kekerasan maupun pelecehan seksual terhadap perempuan tidak terjadi, bahkan negara harusnya mampu memutus mata rantai penindasan berdasarkan seks pada perempuan.
Bukan hanya September yang kelam dan hitam, sampai saat ini keadaan perempuan masih kelam dirundung dengan pelecehan sekaligus kekerasan seksual oleh kaum predator yang selalu ingin dipuaskan birahinya dengan menghalalkan berbagai cara.
0 komentar