Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran, agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spriritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan bangsanya.
Seyogyanya memiliki visi kritis terhadap sistem yang dominan sebagai bentuk pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk menciptakan sistem sosial baru dan lebih adil, menjadi agenda tersendiri bagi pendidikan. Perkara demikian diperoleh dari hasil pengejawantahan antara pendidikan yang diatur dalam konstitusi dengan sikon sistem pendidikan pada realitas sosial saat ini.
Kultur pendidikan dari masa ke masa baik yang terjadi di desa maupun di kota nampak memiliki kesamaan, utamanya dalam hal metode pendidikan. Metode yang dikembangkan dalam dunia pendidikan dan pelatihan terhadap masyarakat mewarisi pikiran positivisme seperti objektivitas, empiris, tidak memihak pada peserta, berjarak dengan objek belajar, rasional dan bebas nilai.
Sehingga sangat banyak fasilitator sesungguhnya justru berperan menjadi penghambat proses pembebasan, dan ikut berperan pula menumpas benih-benih watak emansipatoris pada setiap proses pendidikan dan pelatihan. Namun pada kenyataannya masih banyak hal yang belum bisa membawa pada tujuan sejatinya sehingga terkadang kita mengalami disorientasi.
Banyak pandangan yang memberikan arah baru terhadap proses, serta dimensi pendidikan yang semakin mendorong terjadinya perubahan konsep dan cara pandang terhadap eksistensi pembelajaran. Sehingga dapat dijadikan sebagai kerangka berpikir untuk memahami lebih dalam persoalan pembelajaran.
Sehubungan dengan itu, maka lembaga pendidikan harus bergeser untuk mengembangkan kultur pembelajaran yang holistik. Termasuk mengembangkan visi pendidikan yang jelas, konsisten, disertai dengan kepemimpinan yang dapat memberikan arah, memajukan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran, mengembangkan masyarakat pembelajaran, mendorong munculnya iklim belajar yang demokratis dimanapun juga dan secara sadar mengembangkan proses sosialisasi profesional, baik dikalangan guru maupun siswa.
Bentuk dan jenis kesenjangan pendidikan mayoritas terjadi di pedesaan serta mengenai semangat memperoleh pendidikan, hampir dapat dipastikan bahwa masyarakat desa memiliki semangat juang di atas rata-rata daripada masyarakat kota.
Pemecahan persoalan pendidikan seharusnya tidak dilakukan secara parsial per kasus, tetapi haruslah dilakukan secara menyeluruh untuk semua masalah dalam konteks kebersamaan.
Dengan begitu, sungguh tidak bijak, jika memecahkan satu masalah di atas dengan meninggalkan masalah yang lain. Sebagai misal, untuk memecahkan persoalan pertama, jangan dilakukan secara parsial dan dikontraskan dengan pemecahan masalah yang lain. Jika hal itu dilakukan, maka yang akan terjadi adalah kekbijakan yang satu akan dengan sendirinya menghambat pada penuntasan masalah yang lainnya.
Spekulatif Pendidikan:
Spekulatif dalam disiplin intelektual adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (Kognitif), bersikap (Afektif), dan bertingkah laku (Konatif). Spekulatif juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual.
Sementara itu, Pandangan klasik tentang pendidikan, pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat menjalankan tiga fungsi sekaligus; pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat di masa mendatang. Kedua, mentransfer (memindahkan) ilmu pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan. Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (Survive) masyarakat dan peradaban.
Lebih lanjut, pendidikan di mata Freire merupakan sebuah pilot project dan agen untuk melakukan perubahan sosial guna membentuk masyarakat baru. Menjadikan pendidikan sebagai pilot project, berarti kita berbicara tentang sistem politik kebudayaan (Cultural politics) yang menyeluruh dan melampaui batas-batas teoritis dari doktrin politik tertentu, serta berbicara tentang keterkaitan antara teori, kenyataan sosial dan makna emansipasi yang sebenarnya (Freire, 1999).
Pendidikan dan Persepsi Masyarakat Desa Solokuro Kabupaten Lamongan:
Pendidikan sebagai salah satu modal utama yang memiliki kontribusi penting terhadap kemajuan bangsa tentu harus didukung pula oleh sarana-prasarana pendidikan yang memadai dan yang tidak kalah penting adalah akses pendidikan yang terjangkau.
Hasil wawancara dengan beberapa masyarakat desa Solokuro mengungkapkan bahwa pada hakikatnya pendidikan itu sangat penting akan tetapi kendala terbesarnya adalah akses pendidikan yang memerlukan biaya tinggi.
Desa Solokuro terdiri dari 4 rukun warga. Menurut salah seorang tokoh masyarakat, sebut saja Rumiyatin, berpendapat bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk melanjutkan dan atau tidak melanjutkan jenjang pendidikan anak mereka. Pertama, persoalan akses pendidikan yang tidak terjangkau.
Kedua, persepsi instan dan konsumtif masyarakat desa yang cenderung mengikut dengan logika kehidupan modern yang menjadikan kekayaan secara materi sebagai segala-galanya sehingga lebih memilih mencari pekerjaan pada usia dini dibanding melanjutkan pendidikan.
“Saya lebih mendukung anak saya untuk pergi bekerja di Malaysia daripada melanjutkan sekolah karena saya tidak punya cukup uang untuk biaya sekolahnya. Kalau pergi bekerja di Malaysia, bisa juga ia bantu pembiayaan adik-adiknya. Terus langsung dapat memperoleh hasil keringatnya sendiri,” ungkap Rumiyatin, seorang warga desa Solokuro saat diwawancarai di kediamannya tentang alasannya untuk tidak mendukung anaknya melanjutkan jenjang pendidikan.
Di desa Solokuro, seorang warga dimintai keterangan tentang pendidikan namun jawabannya sedikit berbeda dengan sebelum-sebelumnya. “Yang dibilang sekolah atau melanjutkan pendidikan ibarat berjalan menuju jalan lurus dan terang. Saya rela keluarkan semua harta yang saya miliki demi melanjutkan sekolah anak saya dengan harapan agar anak saya bisa berguna dan menaikkan derajat kami selaku orang tuanya,” ungkap Imron Rosyadi, S. Ag.
Masyarakat desa Solokuro yang notabenenya berprofesi sebagai petani dan buruh tani tentu sangat mengharapkan jika akses pendidikan dapat dijangkau oleh tingkat perekonomian mereka. Akan tetapi, polemik biaya pendidikan nampaknya menjadi penyakit tersendiri di tubuh pendidikan.
Hal demikian dapat dibuktikan, misalnya maraknya gelombang protes mahasiswa pada pendidikan tinggi yang masih mempermasalahkan biaya pendidikan mahal dan tidak terjangkau. Masih banyak pula masyarakat desa yang nampak kewalahan membiayai pendidikan anak mereka, khususnya di desa Solokuro.
Fenomena anak-anak sekolah atau mahasiswa di perguruan tinggi yang terpaksa berhenti di tengah jalan kian mengalami peningkatan kurva setiap tahunnya. Selain itu, hal demikian juga diperparah oleh sikon desa yang semakin menunjukkan wujud kemiripannya dengan kota atau terdapat usaha untuk ke sana.
Obsesi masyarakat desa terhadap gaya hidup kota terus mengalami peningkatan mulai dari gaya berpakaian, kepemilikan alat elektronik canggih hingga cara berpikir serta bertindak bercorak perkotaan. Tak pelik, kebiasaan masyarakat kota yang cenderung berpikir minimalis dengan adagium “Kalau ada yang mudah, untuk apa susah”.
Adagium tersebut membentuk pola kebiasaan baru seperti lahirnya sekelompok masyarakat instan dan konsumtif. Budaya dan corak metropolitan modern di perkotaan menjalar masuk ke pemukiman masyarakat desa.
Perkara tersebut juga didukung kuat oleh orientasi dunia modern yang bergerak pada poros industrialisasi dan yang terpenting adalah poros tersebut membutuhkan SDA agar tetap langgeng. Lingkungan desa yang masih tetap asri dan rindang menjadi sasaran utama para investor yang bergerak pada bidang industri. Desa dengan wajah kota adalah keniscayaan.
Masyarakat desa yang tergiur dengan panorama kehidupan masyarakat kota tentu akan bergerak ke sana selain karena pengaruh obsesi, segala sesuatunya telah disediakan oleh wadah industri. Masyarakat desa hanya perlu bekerja untuk mendapatkan nominal lebih untuk ditukar dengan segala macam kemewahan yang ditawarkan dunia industri.
Tak ayal, gotong royong dan segala hal yang berhubungan dengan kekerabatan semuanya berubah menjadi money interest. Membantu tetangga untuk menanam padi di sawah tidak cukup hanya dengan ucapan “Terimakasih” melainkan harus dengan nominal pula.
Pendidikan bukanlah lagi menjadi perkara utama bagi masyarakat desa melainkan bekerja untuk kehidupan yang lebih layak. Masyarakat desa yang konsumtif adalah masyarakat yang tercipta dari tatanan dunia dengan prioritas profit-oriented seperti ruang pendidikan yang tampil sebagai kendaraan memperoleh keuntungan bukan lagi sebagai sarana memanusiakan manusia.
Perkara demikianlah yang menjadi polemik bagi dunia pendidikan saat ini dari privatisasi hingga kapitalisasi pendidikan. Maka pendidikan justru akan tampil sebagai mesin pencipta kesenjangan dan ketidakadilan. Pendidikan sebagai sarana pengasahan diri manusia menuju konsep kemanusiaan dan memanusiakan seperti yang termaktub dalam UUD 1945.
Tentang tujuan pendidikan nasional adalah merupakan sebuah jawaban atas segala polemik di atas, lantas pertanyaannya adalah apakah para aparatur pendidikan berniat dan berusaha untuk menyelaraskan dan menerapkan kembali asa dan cita pendidikan yang termaktub dalam UUD 1945 pada dunia nyata? Kiranya, tidak ada yang mustahil jika diusahakan dengan sepenuh hati untuk kemajuan bangsa dan negara.
0 komentar