Menyemarakkan Moderasi Keindonesiaan.
Radikalisme dan ekstremisme di dunia pendidikan menjadi perbincangan yang tidak akan ada habisnya. Sejak awal, pendidikan dirancang untuk menanamkan nilai-nilai baru untuk menggeser nilai-nilai lama yang ada atau justru mempertahankan nilai-nilai lama. Proses transmisi pengetahuan, menjadi proses penting yang ada di lembaga pendidikan manapun. Radikalisme, yang merupakan sebuah paham yang menginginkan perubahan mendasar dalam suatu tatanan sosial-politik tertentu, tidak akan melepaskan kesempatan untuk mewariskan nilai-nilai yang dibawanya melalui proses pendidikan. Masalah terjadi, jika perubahan yang dimaksud harus diwujudkan melalui jalan kekerasan.
Pendidikan merupakan proses yang dijalani oleh setiap manusia. Fungsi pendidikan berupaya memaksimalkan potensi yang ada dalam diri manusia. Aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif adalah aspek yang ditekankan di dalam pendidikan. Kemajuan peradaban ditentukan baik tidaknya sistem pendidikan yang dijalankan. Dalam implementasi pendidikan, perencanaan, strategi, dan evaluasi pembelajaran harus disusun sesempurna mungkin demi tercapainya tujuan pendidikan, yaitu membentuk insan kamil atau manusia paripurna. Lalu, bagaimana jika dalam implementasi pendidikan, terdapat pembelajaran yang mengarahkan murid atau peserta didik untuk bersikap tertutup bahkan mengajarkan cara-cara kekerasan untuk menyelesaikan masalah? Semuanya berawal dari proses pembelajaran yang ada dalam kelas, jika konteksnya adalah pendidikan.
Abdul Munir Mulkhan, Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta menyatakan bahwa setiap kebudayaan, kelompok, organisasi mempunyai potensi menjadi eksklusif. Potensi tersebut dibentuk dari sistem pengetahuan yang dipakai oleh suatu masyarakat tertentu. Menurut Foucault, ilmuwan sosial asal Prancis, menyebutnya sebagai episteme. Episteme tersebut diproduksi secara terus menerus oleh suatu masyarakat untuk menafsirkan dunia yang dilihat dan dijalankannya. Masyarakat periode tertentu dalam latar belakang sosial tertentu pula mempunyai episteme yang dijadikan cara pandang umum untuk melihat dunia secara keseluruhan. Jika melihat infiltrasi radikalisme ke dalam sistem pendidikan kita, itu artinya episteme radikalisme berusaha dimasukkan ke dalam pendidikan melalui pembelajaran yang ekslusif. Tanpa mengetahui episteme radikalisme di dalam pendidikan kita, tidak mungkin bisa membuat solusi untuk mencegah radikalisme.
Istilah radikalisme pertama kali digunakan oleh Charles James Fox, pemimpin gerakan reformasi pemilu di Britania Raya pada akhir abad ke-18. Fox menyatakan, sistem pemilihan harus diubah dari hak pilih secara drastis menuju hak pilih secara universal. Tetapi yang menarik di sini, istilah radikalisme belum dilekatkan pada suatu kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan.
Pada mulanya, radikalisme hanya berlaku dalam konteks politik, yaitu untuk mengidentifikasi partai mana saja dalam parlemen Britania Raya yang mendukung reformasi parlementer. Artinya, radikalisme adalah sebuah gerakan intelektual yang menginginkan perubahan sosial-politik. Seiring berjalannya waktu, pada abad ke-19 radikalisme berubah menjadi gerakan liberal progresif di Eropa. Lebih spesifik, radikalisme digunakan untuk mengidentifikasi ideologi gerakan atau partai politik tertentu. Contohnya, komunisme sebagai radikal kiri sedangkan fasisme sebagai radikal kanan.
Takashi Shiraishi, peneliti sejarah pergerakan Indonesia asal Jepang menulis disertasi berjudul An Age in Motion: Popular Radicalism in Java 1912-1926 terbit tahun 1990 yang kemudian diterjemahkan tujuh tahun kemudian dengan judul Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Jawa 1912-1926. Fokus penelitian Shiraishi berkutat pada pergerakan zaman pra- kemerdekaan Indonesia yang bersentuhan dengan modernisme. Kaum pergerakan pada masa itu dicap sebagai kaum radikal oleh Belanda sebab menginginkan kemerdekaan Indonesia seluruhnya. Dengan kata lain, menuntut perubahan tatanan sosial-politik sedari akar-akarnya.
Gerakan radikalisme di Jawa saat itu, memanfaatkan berbagai medium perjuangan untuk menyebarkan gagasan-gagasan radikal guna menyadarkan masyarakat Indonesia atas penjajahan yang ada. Berbagai tulisan, mulai dari sastra hingga politik ditulis dengan gaya bahasa yang berapi-api untuk memantik pemberontakan di berbagai daerah. Itulah mengapa, Belanda perlu untuk membuat kebijakan yang membatasi kaum pergerakan untuk menyebarkan gagasan-gagasan radikalnya. Organisasi, salah satu alat perjuangan pada abad modern dalam sejarah pergerakan Indonesia memanfaatkan rapat-rapat besar untuk mengumpulkan berbagai orang guna membahas perjuangan mereka ke depannya.
Jauh sebelum itu, radikalisme telah tumbuh di kalangan agamawan. Agama oleh para kiyai dan ulama, dijadikan sebagai moral force untuk menyatukan solidaritas pengikutnya demi membebaskan beberapa tanah. Ceramah maupun khutbah, berisi kebencian terhadap penjajah, ganjaran pahala jihad, mengkafirkan penjajah, dan membenci modernitas yang dibawa oleh penjajah.
Pada saat itu, pergerakan agamawan yang radikal belum sepenuhnya bersifat menyeluruh. Pemberontakan yang dilancarkan, masih bersifat lokalistik dan hanya meletus di beberapa daerah yang mungkin mempunyai basis keagamaan yang kuat. Menurut analisis Kuntowijoyo, hubungan patron-klien antara ulama/kyai dengan pengikutnya dimanfaatkan sebagai perekat kesadaran demi mencapai tujuan bersama. Alhasil, sebagaimana yang digambarkan dengan ciamik oleh Sartono Kartodirdjo dalam tesisnya, Pemberontakan Petani Banten 1888, membantah sejarawan Belanda yang menganggap kaum petani tidak mempunyai peran dalam memperjuangkan kemerdekaan. Padahal, kaum petani yang dianggap tidak penting dan tidak berpendidikan sebagaimana elite pribumi yang mendapat kesempatan mengenyam pendidikan, ternyata memainkan peran penting dalam menumbuh- suburkan paham radikalisme di Indonesia. Walaupun bersifat lokalistik, peran para ulama atau kiyai dan petani menjadi awal sejarah pergerakan perjuangan kemerdekaan di Indonesia.
Perlu diketahui, paham radikalisme yang dianggap hanya didapatkan melalui proses pendidikan modern ternyata terbantahkan. Radikalisme, tidak hanya tumbuh melalui pendidikan formal semata melainkan bisa muncul melalui masyarakat yang bahkan tidak mengenal pendidikan sama sekali. Benang merahnya, ada pada kesadaran yang sama dalam melihat dunia yang dijalani tidak sesuai dengan harapan. Kondisi terjajah, kemiskinan yang merajalela, dan angka kematian yang tinggi merupakan sebab-sebab yang mendorong seseorang untuk mengimajinasikan dunia yang baru. Senada dengan pendapat Taufiqurrahman, Wakil Rektor I Universitas Aisyiyah Yogyakarta, yang mengutip pendapat Buya Syafii bahwa faktor ekonomi berperan menumbuhkan paham radikalisme. Faktor- faktor mendasar, yang membawa seseorang menuju paham radikalisme akan dibahas lebih lanjut.
Radikalisme pun tumbuh pada perang kemerdekaan Indonesia. Perang revolusi, mempertemukan kaum pribumi yang ingin mempertahankan kemerdekaan dengan pasukan Belanda yang bersenjata lengkap bersama tentara sekutu. Ditambah, adanya seruan berjihad oleh ulama dan santri yang semakin memperkuat perlawanan pribumi untuk
mempertahankan kemerdekaan. Seiring berjalannya waktu, tumbuhlah apa yang dinamakan aliran politik Islamisme. Islamisme, paham politik yang berawal dari gagasan Kartosuwiryo dengan membentuk organisasi DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) akibat ketidaksetujuannya pada perjanjian renville yang mendesak Indonesia membagi wilayah kekuasaannya menjadi negara boneka. Pada masa selanjutnya, pemberontakan bersenjata gerilya yang dilancarkan Kartosuwiryo mengilhami lahirnya paham Islamisme politik di Indonesia. Pemberontakan bersenjata yang berdasarkan paham keagamaan meluas hingga ke Sulawesi Selatan, Aceh, Kalimantan, dll.
Dasar awal Islamisme, ialah paham yang ingin mendirikan negara Islam Indonesia. Sebab, bagi mereka, sistem politik yang dianut Indonesia tampaknya berasal dari sistem kafir alias Barat yang tidak mencerminkan nilai-nilai Islam. Selanjutnya, perjuangan bersenjata kaum Islamis dapat dihentikan oleh Soekarno. Akhirnya, kaum Islamisme mau tidak mau harus membentuk partai politik. Maka, terbentuklah partai Masyumi yang sekiranya bisa mewadahi aspirasi kaum Islamis untuk menjadikan Islam sebagai dasar haluan negara Indonesia yang masih muda.
Pada masa Orde Baru, aspirasi kaum Islamisme mendapat tantangan yang cukup berat. Kaum Islamisme melihat, Orde Baru merepresi umat Islam dengan memberikan cap radikal kepada mereka. Kaum Islamisme mendapatkan momentumnya pada masa reformasi. Berbagai paham keislaman, yang tadinya bergerak di bawah tanah akhirnya dapat menunjukkan dirinya lagi. Tidak jarang, mereka menggunakan cara-cara kekerasan untuk melancarkan aksinya. Bahkan, mereka mendirikan pesantren-pesantren khusus untuk mendidik mujahidin-mujahidin yang nantinya akan direkrut menjadi pasukan mereka. Kaum Islamisme juga membangun jaringan ke luar negeri seperti Qatar, Irak, Syiria, dan Palestina untuk membangun hubungan diplomasi internasional. Pasokan senjata dan pendidikan jihad, mereka dapatkan dari hasil diplomasi internasional yang mereka bangun dengan sistematis.
Menurut Taufiqurrahman, menyatakan bahwa faktor keturunan ikut mempengaruhi jalan seseorang menuju paham radikalisme. Individu, yang tergabung dalam gerakan radikalisme adalah keturunan pejuang DI/TII. Selain itu, faktor ekonomi juga ikut mengarahkan seseorang pada paham radikalisme. Sebagaimana paham politik yang lain, Islamisme radikal memandang bahwa ketidakadilan, kemiskinan, korupsi, dan lain sebagainya adalah akibat dari tidak diterapkan sistem negara Islam yang berasal dari Al-Qur’an dan As- sunnah.
Faktor dominan, tentu saja berasal dari pemahaman agama yang keliru. Hal ini dikonfirmasi oleh Abdul Munir Mulkhan. Walaupun radikalisme bisa tumbuh di luar paham keagamaan, Indonesia yang mayoritas penganut Islam tentu saja membuat potensi radikalisme yang dibalut oleh dalil-dalil agama menjadi lebih besar. Menurutnya, inilah faktor terbesar yang memperkuat basis radikalisme. Aksi-aksi kekerasan yang dilakukan, tidak bisa dilepaskan dari pemahaman keagamaan konservatif dan ekslusif yang dimiliki oleh kelompok radikalisme. Pemahaman keagamaan, yang memperkuat paham radikalisme disebarkan melalui berbagai medium, salah satunya melalui lembaga pendidikan formal. Tahun 2015, terdapat buku ajar pendidikan Agama Islam yang mengajarkan paham radikalisme. Di sana tertulis, bolehnya membunuh orang syirik. Tafsir keagamaan yang dipakai untuk orang sirik pun adalah tafsir konservatif yang perlu ditafsirkan ulang. Paham takfiri atau mengkafir- kafirkan orang lain adalah awal mula paham radikalisme menguat di kalangan stakeholder pendidikan, bahkan masyarakat secara keseluruhan.
Abdul Munir Mulkhan menyarankan, pembelajaran keagamaan yang dilakukan di sekolah- sekolah perlu penafsiran ulang yang sesuai dengan perkembangan zaman. Jika tetap mengacu pada penafsiran lama, maka tidak mustahil paham radikalisme akan terus tumbuh dan tidak jarang mengambil korban jiwa.
Secara etimologi, radikalisme berasal dari kata radix yang artinya akar. Sedangkan secara terminologi, radikalisme adalah paham atau aliran yang menghendaki perubahan secara keseluruhan dalam tempo singkat.
Radikalisme, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Abdul Munir Mulkhan, merupakan potensi yang dimiliki oleh setiap orang, kelompok, kebudayaan, organisasi, dan lain-lain. Istilah radikalisme, menurut Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, memiliki dimensi yang sangat luas sehingga menyematkan kepada kelompok tertentu merupakan tindakan yang gegabah. Sebagaimana sejarah yang telah diulas di atas, radikalisme pada mulanya merupakan sebuah gerakan politik yang menentang kebijakan parlemen yang tidak sejalan dengan pandangan mereka.
Bisa disimpulkan, radikalisme merupakan istilah global yang mencangkup beragam motivasi, ideologi, dan tindakan yang dilakukan oleh beberapa orang tertentu. Radikalisme bisa dibagi menjadi dua, yaitu non-violent atau paham radikal yang tidak setuju dengan jalan kekerasan dan with-violent atau paham radikal yang setuju dengan kekerasan. Pentingnya untuk meneliti lebih jauh, mengapa seseorang bisa bertindak dengan jalan kekerasan atau menjadi radikal, sebab faktor-faktor penentu bisa saja sangat mendukung lahirnya paham radikalisme tersebut. Misalnya kemiskinan atau sebab invasi militer Negara tertentu. Jika gegabah, stigma radikalisme malah memunculkan gerakan radikalisme gaya baru yang merespon akumulasi penindasan yang berakar pada suatu kekuasaan tertentu, dalam hal ini adalah pemiliki tafsir tunggal sebuah wacana yaitu Pemerintah.
Oleh karenanya, dalam diskursus kali ini menggunakan istilah ekstremisme untuk menyematkan kepada orang atau kelompok tertentu yang menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka, tentunya dengan beragama motivasi dan ideologi yang melatarbelakangi tindakan mereka. Tidak hanya terpaku pada agama atau Islam. Namun, sebagai Negara mayoritas muslim, tentu saja faktor keagamaan yang melandasi tindakan mereka tidak bisa dilepaskan begitu saja dalam faktor-faktor penentu seseorang untuk menganut paham ekstremisme-kekerasan. Itu merupakan sebuah kenyataan yang tidak terhindarkan. Maka dari itu, berikut adalah pemaparan panjang mengenai pendidikan moderasi beragama dan kaitannya untuk mencegah paham ekstremisme yang ada.
Indonesia merupakan negara yang multikultural terdiri atas berbagai macam suku, budaya, ras, dan juga agama. Keberagaman ini meniscayakan lahirnya perbedaan pandangan yang muncul di internal maupun eksternal kelompoknya. Klaim-klaim merasa paling benar, ajaran agamanya yang paling lurus, bahkan sampai menyalahkan paham atau aliran yang berbeda adalah masalah-masalah yang harus ditangani secara bersama. Problematika paham seperti itu berpotensi terjadinya konflik dan gesekan-gesekan kepentingan sehingga merusak hubungan sosial dan keberagaman.
Masyarakat masih dengan mudahnya memandang salah, mengkafirkan, bahkan diskriminasi orang lain yang tidak sepaham dengan kelompoknya. Abdul Munir Mulkhan, dalam wawancara dengan tim Pundi di kediamannya (15/08/2022) bahkan mengatakan, untuk merasa dekat dengan Tuhan, seseorang terkadang sampai menyingkirkan orang lain.
Ungkapan ini berangkat dari pengalaman beliau ketika menunaikan ibadah haji dan menyaksikan orang saling berebut untuk mencium hajar aswad.
Sikap-sikap keberagaman yang keras yang diperlihatkan oleh sekelompok orang dalam bermasyarakat maupun yang diajarkan lewat berbagai platfrom media sosial akan berdampak buruk pada persatuan bangsa. Dari sejak negara ini berdiri, bangsa ini sudah dikenalkan dengan persatuan yang terbingkai dalam Bhineka Tunggal Ika, yaitu berbeda- beda tetap satu jua. Cita-cita dari para pendiri bangsa ini harus dijaga dan dirawat demi tumbuhnya kerukunan dan kedamaian antar umat beragama.
Banyak contoh kasus sikap radikal, ekstremis, dan intoleran. Pengeboman tempat ibadah, pemaksaan dan intervensi kepercayaan, penyebaran berita hoax, bahkan sampai ujaran kebencian dan diskriminasi kepada berbagai golongan. Oleh sebab itu, pendidikan moderasi beragama sebagai upaya menanggulangi dan menjawab problematika keberagaman tersebut. Tindakan intoleran yang timbul dari minimnya pengetahuan agama menyebabkan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Setara Institut melaporkan bahwa di tahun 2021 terdapat 171 peristiwa pelanggaran dan 318 tindakan pelanggaran atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB).
Akumulasi problem peristiwa dan tindakan pelanggaran KBB inilah yang kemudian mulai mewacanakan pendidikan moderasi beragama di tahun 2019 oleh Kementerian agama. Selain dimaksudkan untuk menjawab problem perilaku intoleran, pendidikan moderasi beragama juga diharapkan menjadi medium utama transformasi nilai dalam penyelenggaraan pendidikan.
Dikutip dari Kompas (2/5/2017), menurut Irfan Amali, pendiri Peace Generation, ada lima modus yang dimanfaatkan kelompok radikalisme untuk merekrut anggota melalui dunia pendidikan.
Pertama, menggunakan narasi politik untuk membangkitkan semangat berjihad. Modus ini seringkali digunakan untuk memperlihatkan situasi yang tidak adil yang terjadi di sekitar.
Kemiskinan dan ketidakadilan seringkali menjadi argumen utama untuk mendirikan negara Islam yang berujung pada aksi kekerasan. Tetapi, tidak semua kelompok gerakan radikalisme menggunakan kekerasan. Di antara mereka, ada pula yang menggunakan jalur parlementer atau propaganda melalui media untuk menyebarluaskan paham yang mereka anut.
Kedua, menggunakan narasi historis berupa romantisme sejarah peradaban Islam yang memukau. Seringkali mereka kembali mengangkat sejarah peradaban Islam pada abad pertengahan untuk membangkitkan semangat memperjuangkan paham mereka. Walaupun, romantisme sejarah yang mereka angkat dan suarakan terkesan memaksa. Biarpun begitu, romantisme sejarah seringkali berhasil untuk merekrut anak-anak muda yang memang sedang mencari identitas mereka. Identitas keislaman nampaknya, lebih bisa diterima oleh mereka sebab lebih terlihat ideal dan menjanjikan.
Ketiga, narasi psikologis menempatkan tokoh-tokoh kekerasan atau teroris sebagai pahlawan yang harus diikuti dan diteladani. Modus ketiga, tetap berkaitan dengan modus kedua. Melalui romantisme sejarah, terdapat tokoh-tokoh yang dianggap sebagai inspirasi utama bagi anak-anak muda yang sedang mencari identitas. Secara psikologis, mereka tentu saja lebih mudah dipengaruhi. Tetapi, seiring berkembangnya zaman tokoh-tokoh pluralis yang humanis dan lebih milenial lebih tampak di depan publik seperti Cak Nun, Gus Dur, bahkan Mahatma Gandhi. Semboyan Peace, yang dibawa oleh musisi Reggae Bob Marley juga ikut membendung arus radikalisme.
Keempat, meyakinkan bahwa kekerasan adalah satu-satunya solusi. Disebut juga sebagai instrumental narration. Anak-anak muda, yang memang cenderung bersikap memberontak sebab dalam masa pencarian identitas tentu saja tertarik dengan cara-cara kekerasan yang ditawarkan oleh kelompok radikalisme. Apalagi, kekerasan yang mereka lakukan diimajinasikan membawa dampak baik bagi kehidupan umat manusia. Tentu saja, anak muda mana yang tidak tertarik dengan janji semacam itu.
Kelima, memenggal beberapa ayat Al-Qur’an maupun hadis untuk melegitimasi tindakan mereka. Ini berkaitan dengan tafsir keagamaan yang sudah usang. Pendekatan Maqashid Syariah harus ditanamkan sejak awal untuk menafsirkan ajaran agama supaya bersifat lebih humanis dibanding legalistic seperti yang diinginkan oleh gerakan kelompok radikalisme.
Sejak dari tahun 2019 kemudian moderasi beragama sudah dikampanyekan oleh Mentri Agama Lukman Hakim Saifudin. Kementrian Agama kemudian memasukkan moderasi beragama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Agenda ini dimasukkan dalam RPJMN agar penanganan radikalisme tidak hanya dilakukan oleh kemenag tetapi menjadi gerakan sinergis yang lintas sektor dan kementrian.
Kementrian Agama mengupayakan agar moderasi beragama menjadi karakter keberagaman yang khas di masyarakat Indonesia yang majemuk. Di tahun 2021 Penguatan Moderasi Beragama (PMB) menjadi program prioritas Kementrian Agama yang terus dilakukan terutama di Lembaga-lembaga Pendidikan seperti pesantren, madrasah, dan sekolah. Bahkan di Persyarikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tahun 2019 sebagai Tahun Moderasi Beragama (The International Years of Moderation).
Moderasi ditinjau dari etimologis merupakan serapan dari kata moderation dari kata sifat moderate yang artinya not extreme. Moderat selaras dengan istilah wasatiyyah dalam bahasa arab. Wasatiyyah sendiri dapat diartikan sebagai sesuatu yang berada (di tengah) di antara dua sisi. Sementara itu, secara terminologis moderasi adalah sikap berada di tengah-tengah serta menjaga diri dari sikap melampaui batas. Kementerian Agama mengusung karakter moderat dalam pendidikan moderasi beragama memuat empat nilai, yakni relasi agama dan negara (komitmen kebangsaan), relasi antar umat beragama (toleransi), ekspresi keagamaan yang ramah (nirkekerasan), relasi agama, dan budaya (arif terhadap budaya lokal).
Moderasi beragama merupakan sikap, cara pandang maupun paham beragama yang diaktualisasikan di masyarakat sebagai upaya untuk melindungi martabat kemanusiaan, sehingga terciptanya kemashlahatan bersama. Upaya ini dilandaskan pada prinsip adil, berimbang, dan mentaati konstitusi sebagai konsensus dalam berbangsa dan bernegara. Moderasi beragama adalah sikap tengahan yang tidak ekstrim kiri yang keras dan fanatik, tidak juga ekstrim kanan yang liberal. Namun berimbang, adil, dan menjunjung nilai-nilai keberagaman universal.
Yusuf Qadhrawi, salah satu pemikir muslim yang giat menyuarakan terkait moderasi, mengungkapkan lima upaya dalam melakukan moderasi. Pertama, pemahaman islam (agama) yang komperhensif. Kedua, keseimbangan antara ketetapan syariah (ajaran agama) dan perubahan zaman. Ketiga, dukungan kepada kedamaian dan penghormatan nilai-nilai kemanusiaan. Keempat, pengakuan atas pluralitas agama, budaya dan politik. Kelima, pengakuan terhadap hak-hak minoritas. Sehingga agama tidak hanya membentuk individu yang shaleh tetapi juga sebagai instrumen keshalehan sosial dalam menghargai perbedaan antar umat beragama.
Agama sejatinya mengajarkan kebaikan, saling menghormati, tidak bermusuhan karena perbedaan adalah anugerah dan rahmat. Kerja-kerja untuk keharmonisan dan jalan damai merupakan upaya untuk menumbuhkan kepekaan terhadap kondisi sosial-keagamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Etika dan nilai-nilai sosial menjadi acuan di masyarakat yang plural dan multikultural.
Dalam Islam misalnya moderat dikenal dengan istilah washatiyah. Dalam konsep washatiyah terdapat tawassuth (jalan tengah), i’tidal (adil, lurus dan tegas), tawazun (berimbang), tasamuh (toleransi), musawah (egaliter), dan syura (musyawarah). Dalam Agama Kristen juga terdapat konsep golden mean, yang tidak lain sebagai moderasi (jalan tengah) atas cara pandang ekstrimis oleh sebagian umat kristen dalam menafsirkan Kitab Sucinya.
Di agama Buddha ada konsep yang disebut dengan Majjhima Patipada (jalan tengah). Juga terdapat empat prasetya dari Sidharta Gautama, antara lain: menolong semua makhluk, menolak keinginan nafsu dunia, mempelajari, menghayati, dang mengamalkan Dharma, serta berusaha mencapai pencerahan sempurna.
Di Hindu terdapat pula konsep moderasi yang terletak pada empat Yuga, dimulai dari Satya Yuga, Tetra Yuga, Dwapara Yuga, dan juga Kali Yuga. Empat hal tersebut mengajarkan moderasi untuk mengatasi permasalahan zaman juga penyesuaian ajaran agama dengan konteks realitas zaman. Dalam agama Hindu juga sangat mengedepankan susila yang mengajarkan keharmonisan antar sesama.
Sedangkan di agama Kong Hu Chu menganut konsep moderasi yang dikenal dengan Zhong Yong. Zhong (tengah) suatu pemahaman untuk tidak memilih jalan yang menyimpang dan Yong (tetap) memiliki prinsip yang tidak berubah. Selain itu, dalam melihat kehidupan dunia juga terdapat ying dan yang, suatu sikap tengahan yang dimaknai memandang sesuatu yang kurang dan yang sesuatu yang berlebihan itu sama-sama buruk.
Konsep-konsep ini adalah upaya dalam merawat kehidupan berbangsa dan bernegara untuk terus hidup rukun, damai, saling menghargai serta memahami perbedaan. Ajaran- ajaran moderasi ini harus menjadi acuan dalam beragama di masyarakat. Dikarenakan kultur masyarakat kita yang plural menjadi alasan kuat moderasi beragama harus terus digaungkan. Juga diajarkan dan diimplementasikan dalam tiap-tiap institusi pendidikan.
Allisa Wahid yang merupakan trainer moderasi beragama di Kementrian Agama juga mengungkapkan perlu dilakukan transformasi rancangan program moderasi beragama agar tepat sasaran. Dari yang formalistik menjadi berorientasi pada kebutuhan masyarakat, dari yang pasif menjadi aktif-responsif, dari berjarak menjadi di tengah-tengah masyarakat, dari periferal menjadi poros gerakan, dan dari orientasi aktivitas menjadi orientasi hasil. Upaya- upaya tersebut adalah tugas yang harus dilakukan oleh semua kalangan, lintas agama dan golongan.
Pendidikan moderasi beragama dengan demikian menjadi kebutuhan penting di tengah- tengah kehidupan yang multi etnis, ras maupun agama. setiap masyarakat mesti paham bahwa kehidupan yang multikultural perlu disikapi dengan saling menghargai satu sama lain. Perbedaan pandangan berkenaan dengan hal-hal tertentu mestinya tidak menimbulkan perpecahan.
Pendidikan merupakan pondasi utama mencerdaskan kehidupan bangsa dan memiliki peran penting dalam memberikan pengetahuan, keteladanan, keterampilan serta pemberdayaan. Tujuan Pendidikan tidak lain adalah mampu memanusiakan manusia yang berguna dan bermanfaat bagi siapapun. Maka proses belajar mengajar yang berkualitas akan membentuk generasi-generasi yang berkualitas pula. Nasib generasi bangsa kedepannya juga tergantung pola pendidikan yang didapatkan saat ini.
Problem paham ekstrimisme, baik ekstrimisme with violence maupun ekstrmis nonviolence telah merangkak masuk sampai ke dalam dunia pendidikan. Ajaran-ajaran yang cenderung ekslusif, eksploitatif, dan intoleran dilakukan dengan mengatasnamakan agama. Agama menjadi bahan yang dapat diperjualbelikan serta dipolitisasi. Berbagai permasalahan akan terasa “gurih” jika disangkutpautkan dengan agama. Padahal UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menekankan antara lain salah satunya para penyelenggara pendidikan harus menyelenggarakan pendidikan secara demokratis dan berkeadilan dengan tidak diskriminatif dan menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai budaya, dan kemajemukan bangsa.
Sekolah bahkan dijadikan tempat pertarungan ideologi yang melahirkan perpecahan, saling membenci atas nama menegakkan kebenaran. Mentri Pendidikan, Kebudyaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim dalam peluncuran Aksi Moderasi Beragama menyampaikan bahwa sistem pendidikan kita masih terdapat “tiga dosa besar” yaitu intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual. Padahal sekolah seharusnya menjadi ruang aman bagi semua golongan. Menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, tolerasi, persatuan, dan semangat kebhinekaan.
Dirjen Pendidikan Islam M Ali Ramdhani dalam Rapat Koordinasi Program Diktorat Pendidikan Agama Islam di Bali menyampaikan, pendidikan penguantan moderasi beragama di sekolah-sekolah umum harus difokuskan pada penanaman nilai integritas, solidaritas, dan tenggang rasa kepada seluruh keluarga sekolah. Upaya ini ditanamkan agar terciptanya lingkungan pendidikan yang harmonis, damai, dan aman dari berbagai macam ancaman. Langkah ini juga untuk memutus mata rantai radikalisme yang berkembang di peserta didik.
Anak-anak di sekolah menjadi target utama dalam menanamkan paham-paham ekstrimisme oleh kelompok-kelompok radikal. Anak-anak sekolah dianggap masih labil dan mereka cenderung mudah percaya terhadap pendapat maupun pemahaman yang diajarkan kepada mereka. Ditambah keingintahuan mempelajari sekitarnya yang tinggi akan sangat berbahaya apabila tanpa diiringi dengan sikap kritis dan upaya memahami dan menghargai perbedaan.
Abdul Munir Mulkhan menyebut bahwa faktor paling dominan yang mempengaruhi paham ekstrimis adalah rendahnya pemahaman agama oleh masyarakat, terutama para pendidik yang mengajarkan mata pelajaran agama di sekolah. Guru-guru di sekolah dalam hal ini hanyalah mengutip apa yang tertera di buku pelajaran yang diproduksi dari pemikiran ulama. Tanpa menyaring isi dari buku pelajaran tersebut, murid-murid dicekoki dengan pemahaman agama yang dangkal.
Guru agama merupakan aktor yang paling rentan berperan dalam meyebarkan paham keagamaan yang radikal dan ekstrem kepada peserta didik. Tidak menutup kemungkinan muatan materi pembelajaran agama berpotensi berisi muatan-muatan yang radikal, ekstrimis, diskriminatif, dan intoleran. Karena berdasarkan laporan dari CNN Indonesia (02/07/2020), Kementrian Agama resmi menghapuskan konten radikal yang terdapat pada 115 buku pelajaran agama sebagai upaya penguatan moderasi beragama.
Ada yang perlu dipertimbangkan. Jika melihat kasus yang terjadi di SMA 1 Banguntapan Bantul Yogyakarta pada akhir Juli 2022 kemaren. Terkait pemaksaan jilbab kepada seorang siswi muslim di sekolah yang dilakukan oleh gurunya. Semua setuju jika menolak segala bentuk perlakuan pemaksaan dan diskriminatif kepada peserta didik karena menyalahi aturan dan Hak Asasi Manusia. Namun adanya seruan yang dilakukan guru sekolah kepada muridnya untuk mentaati ajaran agamanya tidak dapat dikatakan sebagai perilaku intoleran, diskriminatif maupun radikal-ekstrimis. Logikanya sama jika ada guru yang menegur anak didiknya untuk mendirikan sholat karena merupakan ajaran agama yang harus ditaati begitu juga jilbab. Akan menjadi salah, intoleran, diskriminatif jika peserta didik justru dipaksa untuk tidak mengikuti ajaran agamanya seperti pelarangan menggunakan jilbab di SMPN 1 Singaraja dan SMAN 2 Denpasar di Bali pada tahun 2014 silam.
Ada tiga pendidikan moderasi beragama yang dapat diimplementasikan di lingkungan pendidikan antara lain: pertama, membangun kultur sekolah maupun lembaga pendidikan yang menjunjung nilai-nilai sopan santun, saling menghargai, toleransi, dan lain sebagainya. Nilai-nilai tersebut harus ditanamkan kesadarannya kepada seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) di instansi pendidikan. juga menjadi pedoman berperilaku dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi.
Selanjutnya yang kedua, kurikulum dan buku-buku pelajaran yang diajarkan berisi semangat persatuan, pluralisme, rasa kemanusiaan dan kebangsaan berdasarkan Pancasila, dan ajaran agama yang rahmatan lil ‘alamiin. Pendidikan keagamaan perlu menyediakan pembelajaran agama yang kritis di sekolah dan masyarakat. Membangun kesadaran pluralisme juga wawasan beragama yang terbuka dan kritis dalam menjawab tantangan perubahan zaman baik sebagai individu maupun sosial.
Ketiga, guru ataupun tenaga pengajar di institusi-institusi pendidikan harus memiliki sikap yang moderat dan terbuka terhadap berbagai kalangan. Guru yang moderat adalah guru yang mampu menanamkan nilai-nilai kebangsaan, toleransi, anti terhadap kekerasan serta akomodatif terhadap nilai-nilai budaya lokal. Begitu juga manajemen pendidikan menjadi faktor penting dalam pengimplementasian nilai-nilai moderasi beragam di sekolah maupun lembaga Pendidikan.
Dibutuhkan penafsiran ulang atas nash-nash agama yang sesuai dengan kebutuhan zaman dalam pembelajaran keagamaan yang dilakukan di sekolah-sekolah. Penafsiran ulang ini penting dilakukan agar umat Muslim tidak terjebak dalam pemahaman agama yang, meminjam istilah Amin Abdullah, partial, provincial dan parochial. Sebagai contoh, dalam Islam misalnya mengenal hifz al-diin sebagai salah satu maqasid as-syariah.
Dahulu orang memahami hifz al-diin sebagai satu upaya untuk menyebarluaskan agama Islam. Ekspansi wilayah dilakukan oleh para pemimpin umat Islam kala itu sebagai konsekuensi dari pemahaman tersebut. Zaman ini, hifz al-diin mestinya tidak dipahami demikian sebab situasi telah berubah. Jasser Auda seorang tokoh intelektual muslim asal Mesir melalui karyanya yang berjudul Maqasid Al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach menerjemahkan hifz al-diin sebagai Hifdz al-Huriyyah al-I’tiqad atau Perlindungan kebebasan berkeyakinan.
Pendidikan moderasi beragama juga tidak terlepas dari peran aktif dan kolaboratif antara pendidikan formal, informal maupun non formal. Keluarga dapat menanamkan integritas dan nilai-nilai moderasi agama sedari dini di lingkungan keluarga dan masyarakat. Selain itu, lembaga non formal seperti pondok pesantren maupun lembaga-lembaga keagamaan menjadikan pendidikan moderasi beragama dan pendidikan karakter yang menjunjung tinggi kemanusian, toleransi yang disesuaikan dengan nilai-nilai agama. Dapat dilakukan dengan penguatan aqidah, pendidikan akhlaq dan karakter, dan pendidikan moderasi beragama.
Menurut Abdul Munir Mulkhan, kurikulum moderasi beragama harus menampakkan ajaran keislaman yang berpihak pada kemanusiaan. Kurikulum moderasi beragama, tidak bisa diformalisasi atau dijadikan semacam aturan materil atau positif sebagaimana undang- undang. Idealnya, kurikulum moderasi beragama berisikan ajaran keagamaan yang merekonstruksi ulang ajaran-ajaran keagamaan yang selama ini diyakini sebagai ajaran Islam yang sesungguhnya. Padahal, ajaran Islam yang diyakini tersebut merupakan sebuah tafsir yang tidak lepas dari konteks zaman tertentu. Sehingga, perlu ditafsirkan ulang untuk memenuhi kebutuhan zaman. Untuk jangka pendek, kurikulum moderasi beragama harus berisikan teladan Rasulullah Saw dalam kemanusiaan. Pembahasan hukum Islam, haruslah menyajikan ajaran empat mazhab yang populer dalam Islam sehingga pikiran peserta didik terbuka melihat perbedaan yang ada. Kurikulum moderasi beragama, harus memakai pendekatan Maqashid Syariah supaya hukum Islam berpihak pada kemanusiaan. Untuk pengajar dan stakeholder pendidikan, harus diadakan workshop dan pelatihan kurikulum moderasi beragama sehingga fleksibel untuk mengimplementasikan pendidikan moderasi beragama yang ada di berbagai satuan pendidikan kita.
Copyright By@PUNDI - 2024
BACK TO TOP