07/08/2024 51

Fenomena Thrifting: Ditinjau dari Pasal 47 UU No. 7/2014 tentang Perdagangan

author photo
By Rifki Asrofi

Mahasiswa Magister Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Perdagangan adalah aktivitas masyarakat yang beriringan pada masyarakat dari dulu hingga sekarang. Penjelasan mengenai perdagangan menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 7/2014 Tentang Perdagangan menyatakan “Perdagangan adalah tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi barang dan/atau jasa di dalam negeri dan melampaui batas wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas barang dan/atau jasa untuk memperoleh imbalan atau kompensasi”. 

Berdagang adalah suatu cara manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup. Aktivitas perdagangan sangat dekat dengan pola hidup aktivitas ekonomi untuk memenuhi kebutuhan keberlangsungan hidup setiap harinya.

Manusia membutuhkan berbagai jenis kebutuhan dalam hidupnya, yakni kebutuhan dasar, sekunder, dan lebih tinggi. Kebutuhan dasar merupakan pokok kebutuhan yang harus terpenuhi, apabila tidak terpenuhi maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam keberlangsungan hidupnya. Pakaian adalah kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai kebutuhan pokok.

Pakaian merupakan hal mendasar yang dibutuhkan oleh manusia untuk melindungi tubuhnya dalam aktivitas sehari-hari. Pakaian tidak hanya digunakan sebagai kebutuhan yang mutlak terpenuhi akan tetapi menggunakan pakaian yang memiliki merek tersendiri akan meningkatkan status sosial mereka.

Pada masyarakat ekonomi kelas menengah untuk menjangkau pakaian yang bermerek adalah dengan cara membeli pakaian bekas impor karena pada pakaian-pakaian tersebut seringkali ditemukan merk ternama internasional dengan kualitas yang bagus dan harga dibawah pasaran yang masih layak oleh karena itu banyak masyarakat tergiur.

Tingkat permintaan pasar pakaian bekas impor dalam beberapa tahun terakhir memiliki jumlah peminat yang cukup tinggi, meskipun dalam UU Perdagangan telah dilarang melalui pasal 47 ayat (1) yang menegaskan bahwa “Setiap Importir wajib mengimpor Barang dalam keadaan baru”. Pakaian yang didapatkan melalui importir dalam keadaan bekas tersebut ketika masuk ke dalam negeri menjadi barang yang ilegal karena banyak pakaian tersebut yang di impor dengan cara diselundupkan dan lengah dari pengawasan penegak hukum.

Selama ini negara tetangga salah satunya Malaysia dan Singapura adalah penyuplai pakaian bekas yang ada di Indonesia.  Pemerintah melalui menteri perdagangan telah mengatur melalui Peraturan Menteri No. 12/2020 membahas mengenai Barang Dilarang Impor. Secara khusus dinyatakan di pasal 2 ayat 3 mengenai larangan barang yang diimpor tertera dalam Pos Tarif/HS tertera dalam lampiran II No. 25 melarang untuk diimpor ke teritorial Indonesia.

Berdasarkan pendahuluan, penulis akan membahas lebih lanjut mengenai kepastian fenomena thrifting ditinjau dari Pasal 47 UU No. 7/2014 Tentang Perdagangan, maka dari itu paper ini mengambil judul “Fenomena Thrifting: Ditinjau dari Pasal 47 UU No. 7/2014 tentang Perdagangan”.

Kepastian Hukum Fenomena Thrifting

Bagaimana kepastian hukum tentang Fenomena thrifting ditinjau dari Pasal 47 UU No. 7/2014 tentang Perdagangan?

Kepastian hukum adalah bagian yang sangat erat dengan hukum, khususnya kaidah hukum tertulis. Hukum yang dapat menjadi pedoman bagi perilaku setiap orang adalah hukum yang memiliki makna atau nilai. Salah satu dari tujuan hukum adalah kepastian. Secara historis, perdebatan kepastian hukum merupakan salah satu yang muncul sejak gagasan Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan.

Sudikno Mertokusumo dalam bukunya, menjelaskan kepastian hukum adalah sebuah jaminan ditaatinya suatu hukum, sehingga pemegang hak dapat memperoleh haknya dan melaksanakan keputusannya. Walaupun posisi kepastian hukum tidak dapat dipisahkan dengan keadilan, namun hukum tentu tidak diidentikan dengan keadilan. Hukum memiliki sifat yang universal dan mengikat, menjadikan mereka setara, dibandingkan dengan keadilan yang memiliki sifat pribadi, pribadi dan tidak umum

Berdasarkan teori kepastian hukum menurut fuller, norma harus diundangkan dan tidak berlaku surut. Teori kepastian hukum ini, menekankan kepada bahwa uu haruslah mudah dimengerti, tidak saling bertentangan, tidak melampaui kewenangan, dan tidak mudah berubah ubah serta harus berlaku umum dengan penegakan hukum yang harus konsisten. Sehingga penulis memandang fenomena ini terjadi karena ada multitafsir dan inkonsistensi dalam penegakan hukum terhadap para importir pakaian bekas yang sekarang ini sudah tersebar di ibukota provinsi di indonesia.

Tentu hal ini pastinya menuai pro dan kontra, mengingat indonesia sedang menjalankan program pemulihan ekonomi nasional yang tentunya sangat dibutuhkan untuk stabilitas ekonomi kerakyatan menengah kebawah skala nasional.

 Seiring dengan maraknya kasus thrifting, pemerintah mengeluarkan larangan terkait jual beli pakaian impor thrifting. Larangan terhadap hal tersebut dapat ditemukan dalam Peraturan Permendag No. 18/2021, membahas mengenai barang yang tidak diperbolehkan diekspor serta di impor. Pasal 2 Ayat 3 menjelaskan barang tidak dapat diimpor yakni kantong bekas, karung bekas, serta pakaian bekas. Pasal 1 ayat 1 UU No. 7/2014 tentang Perdagangan, “Perdagangan adalah tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi Barang dan/atau Jasa di dalam negeri dan melampaui batas wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas Barang dan/atau Jasa untuk memperoleh imbalan atau kompensasi”.

Pasal 24 ayat 1 UU Perdagangan juga menjelaskan tentang “Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha Perdagangan wajib memiliki perizinan di bidang Perdagangan yang berikan oleh Menteri”. Aktivitas perdagangan barang bekas, termasuk pakaian second, dalam hal ini pemerintah Indonesia kurang eksplisit mengatur tentang impor tersebut.

Pasal 47 ayat 1 UU Perdagangan disebutkan “Setiap importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru” dan sanksinya dijelaskan pada pasal 111 UU Perdagangan “Setiap Importir yang mengimpor Barang dalam keadaan tidak baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.

Akan tetapi, masyarakat Indonesia seakan-akan tidak peduli dan mengabaikan peraturan tersebut bahkan semakin tergiur dengan jual beli barang bekas (thrifting) dan kenyataannya para pelaku bisnis penjualan baju bekas import semakin menjamur, bahkan toko online yang menjual baju bekas semakin meningkat dan permintaan semakin meningkat.

Meski banyak yang tertarik kemudian dianggap efektif untuk menjaga lingkungan, toko barang import bekas tidak semuanya memiliki legalitas. Bisnis yang tertarik dilakukan oleh para penjual, telah melanggar beberapa aturan, antara lain: Permendag No. 51/M-DAG/PER/7/2015 mengenai Larangan Impor Pakaian Bekas karena dianggap memiliki potensi membahayakan kesehatan masyarakat.

Balai Pengujian Mutu Barang, Dirjen standardisasi dan perlindungan konsumen, dan Kemendag melakukan uji coba kelayakan terhadap impor pakaian bekas, dan menemukan beberapa bakteri pemicu penyakit seperti S. Aureus, E. Coli, dan Kapang.

Tes pengujian ini digunakan dengan metode bacteriological analytical manual. Selain itu, dikarenakan faktor kesehatan, pengimporan pakaian bekas dinilai mempunyai potensi untuk melemahkan industri pakaian dalam negeri. Terkhusus pada industri menengah kebawah yang dianggap mengancam pasar pakaian lokal yang sulit bersaing karena pakaian bekas impor cenderung memiliki harga murah dan merek terkenal.

Ketidakkonsistenan antara peraturan pemerintah dengan kenyataan yang ada di lapangan menyebabkan pengawasan sandang bekas saat ini tidak efektif karena sistem pengawasan di laut dan di darat tidak sama, pengawasan di laut ditingkatkan, tetapi ketika pakaian bekas impor masuk dan beredar di pasar tidak melaksanakan penindakan, hukuman atau denda sehingga peredaran dan penjualan pakaian impor dan bersifat ilegal masih sering terjadi.

Ironisnya, saat ini masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan atau membeli baju bekas dari situs atau website online, di zaman yang serba digital ini penjual baju bekas yang tidak hanya berjualan di pasar-pasar tradisional tetapi juga menjual baju bekas di situs atau website online. 

Lemahnya penegakan hukum ini juga dikarenakan Kemendag belum mengatur daftar produk bekas untuk meningkatkan kepastian hukum, maka dari itu pemeriksaan oleh penegak hukum juga sulit dilakukan dan menimbulkan celah-celah yang membuat para pengimpor nakal luput dalam pemeriksaan dan pengawasan.

Petugas bea cukai dan Satuan Polisi Air telah melaksanakan tugas pengawasan dan patroli impor pakaian bekas dari luar negeri, melakukan penindakan dan pengawasan di laut sesuai dengan peraturan yang berlaku, karena letak geografis negara Indonesia yang memiliki batas langsung dengan Negara-negara penyuplai pakaian impor sehingga hal tersebut sulit untuk dideteksi masuknya barang bekas tersebut sehingga peran pemerintah diperlukan untuk pengawasan secara lebih ketat untuk mencegah pakaian bekas ilegal diselundupkan ke dalam area pengawasan pabean.

Dari uraian di atas tentang kepastian hukum, kepastian memiliki pengertian, yaitu keterbukaan, memberikan sedikit penafsiran, tidak menimbulkan konflik dan dapat ditegakkan. Hukum harus memiliki kekuatan yang besar dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga harus jelas setiap orang mengerti dan memahami tafsiran dari pasal-pasal yang ada di dalam undang-undang.

Suatu produk hukum tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lain, maka dari itu tidak menyebabkan ambiguitas. Kepastian hukum merupakan perangkat hukum negara yang bersifat terbuka, tidak memungkinkan banyak penafsiran, tidak menimbulkan konflik dan dapat dipergunakan, dapat menjamin hak-hak dan kewajiban setiap warga negara sesuai dengan budaya dan norma yang berlaku di masyarakat yang ada.



Prev Post

Hukum dan Demokrasi: Pilar Keseimbangan Nilai Kekuasaan dalam Negara

Next Post

Garden Learning Ala Syaikh Munir

BACK TO TOP