12/08/2024 80

Garden Learning Ala Syaikh Munir

author photo
By A.R. Bahry Al Farizi

Pemimpin Redaksi PUNDI. Saat ini berdomisili di Yogyakarta.

Rabu malam, 23 Agustus 2023 penulis membersamai Mas Ilham Hardianto yang saat itu berniat mewawancarai Syaikh Munir atau Syaikh Siti Jenar, sapaan akrab Abdul Munir Mulkhan, Guru Besar Emeritus Universitas Muhammadiyah Surakarta, untuk keperluan skripsi. 

Kami menunggu di depan rumah, hingga istri beliau datang menyambut kami dengan hangat. “Mas, yo mbok ketuk pintu. Mosok mau nunggu semalaman di situ”, tegurnya. Sebab, kami mematung di depan rumahnya sembari menunggu konfirmasi Syaikh Munir dari pesan WhatsApp yang kami kirim. 

Kami tak enak hati bila langsung mengetuk pintu, takut beliau sedang tak di rumah. “Bapak masih makan. Tunggu, ya”, lanjutnya. Kami dipersilahkan duduk sambil menunggu Syaikh Munir menghabiskan makan malam. 

Syaikh Munir kemudian menghampiri kami, bersarung, lengkap dengan kacamata khasnya itu. Lantas terbesit dalam hati penulis, “ini memang sudah waktu istirahat. Kami tidak boleh banyak berbasa-basi”.

Kami kemudian memulai obrolan. Secara singkat, kami memperkenalkan diri. Tiba-tiba, Syaikh Munir bertanya. “Mas, kok bisa kepikiran nulis skripsi tentang pemikiran saya? memangnya, Anda sudah membaca karya saya sampai mana?”, tanyanya. 

Mas Ilham secara mantap menjawab sambil menyebut satu persatu sekaligus memperlihatkan karya-karya Syaikh Munir koleksi miliknya. “Selama ini, saya menganggap pendidikan Islam itu sekadar pendidikan agama. Nyatanya, tidak sesederhana itu. Filsafat pendidikan Islam yang ditawarkan oleh Prof mengubah pandangan saya”, ujarnya. 

Lantas, muncul pertanyaan. Seperti apa pandangan Syaikh Munir mengenai filsafat pendidikan Islam? Syaikh Munir mengakhiri diskusi malam itu dengan menyimpulkan bahwa khusus untuk perguruan tinggi, perlu ada garden learning sebagai bentuk implementasi pendidikan Islam. Apa yang dimaksud dengan garden learning?

Re-definisi Ilmu Tarbiyah

Pandangan Syaikh Munir cukup menggugah. Beliau menggugat klaim “tidak islami” oleh beberapa orang yang menganggap bahwa rujukan pendidikan yang berasal dari luar Islam adalah sekuler. Beliau menekankan, tidak jelas juga yang dimaksud luar Islam ini seperti apa. Apakah ukuran luar Islam itu berlaku kalau ilmu tersebut berasal dari orang non-Muslim? Sebaliknya, adakah  jaminan bahwa apabila ilmu tersebut berasal dari Muslim tidak mengandung bias-bias sekuler dan tidak merujuk ilmu-ilmu dari peradaban Barat? perdebatan tersebut apabila dilanjutkan tampaknya tidak cukup produktif dalam pengembangan diskursus pendidikan Islam. 

Padahal, menurut beliau, kekayaan gagasan pembelajaran dalam pemikiran Islam, belum berupa teori yang konsisten dengan tindakan dan praktek pendidikan yang selama ini dilakukan. Sebaliknya, praktek tarbiyah dari PAUD hingga pasca-sarjana PTKIN/S di negeri ini cenderung merujuk teori di luar sistem pemikiran Islam yang belum tentu tidak islami. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimana praktek tarbiyah dapat dirujukkan pada gagasan tersebut (Mulkhan, 2022).

Untuk menjawabnya, berikut Struktur hierarkis ilmu tarbiyah menurut Syaikh Munir. Dikutip dari artikel Pembelajaran Humanis Generasi Post-Truth Dalam Perspektif Lompatan Epistemologis Ibn Khaldun karya Abdul Munir Mulkhan (2022): 


Data empiris telah cukup membuktikan bahwa sistem pendidikan Islam tidak serta merta harus berbahasa Arab atau sekadar menekankan aspek pembelajaran keagamaan. Sebagaimana yang dilaporkan Hossein Askari, guru besar politik dan bisnis internasional di Universitas George Washington, Amerika Serikat itu menyebut bahwa Irlandia, Denmark, Luksemburg, dan Selandia Baru sebagai negara lima besar paling Islami di dunia. Negara-negara lain yang menurut Askari justru menerapkan ajaran Islam paling nyata adalah Swedia, Singapura, Finlandia, Norwegia, dan Belgia. Warga negeri-negeri tersebut mayoritasnya tidak memeluk Islam, bahkan tidak menyebut agama apalagi Islam sebagai landasan dalam  mengelola kegiatan berbangsa dan bernegara (Mulkhan, 2022).

Integrasi Maqashid Syariah Kontemporer

Pendidikan Islam bukan sekadar pendidikan agama. Substansi nilai-nilai keislaman seperti keadilan, kesetaraan, dan persaudaraan apabila diterapkan ke dalam sistem pendidikan secara umum maka itu adalah pendidikan Islam. Substansi nilai-nilai keislaman terkandung di dalam apa yang kita sebut sebagai maqashid syariah atau tujuan-tujuan syariah. 

Dalam literatur Islam klasik, Maqashid Syariah terdiri dari Hifdzu Ad-Diin (حـفـظ الـديـن) atau Menjaga Agama; Hifdzu An-Nafs ( حـفـظ النــفـس) atau Menjaga Jiwa; Hifdzu Aql ( حـفـظ العــقل ) atau Menjaga Akal; Hifdzu An Nasl ( حـفـظ النـسـل ) atau Menjaga Keturunan; dan Hifdzu Al-Maal ( حـفـظ المــال ) atau Menjaga Harta. 

Maqashid Syariah tersebut hanya berhenti pada fungsi protection (penjagaan) dan preservation (pelestarian) yang berkutat pada dimensi individual-abstrak semata. Namun, diskursus kemanusiaan kontemporer memerlukan perluasan dan penafsiran lebih luas mengenai tujuan-tujuan syariah tersebut agar relevan dengan kebutuhan manusia pada saat ini. 

Jasser Auda, cendekiawan kontemporer yang banyak dikutip Syaikh Munir dalam obrolannya menjadi salah satu rujukan primer dalam konteks ini. Dalam karyanya, Maqashid Syariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (2008), Jasser Auda menawarkan pengembangan lebih luas atas konsep Maqashid Syariah dalam perspektif kontemporer, yaitu pengembangan sumber daya manusia sebagai basis fundamental realisasi Maqashid Syariah. Pendidikan sebagai salah satu jalan mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dapat diukur berdasarkan pendekatan empiris sesuai dengan Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai ijma’ atau kesepakatan PBB. 

Selaras dengan itu, Syaikh Munir menekankan bahwa Pendidikan Islam memiliki landasan teologi bersumber wahyu yang tak terbantah. Dalam dunia global yang makin imajinatif, metafisis, bahkan mistis, klaim dogmatis itu memerlukan langkah lanjut teoretis yang secara niscaya membuka ruang debat dan bertanya. Teori bukanlah doktrin dogmatis yang tertutup diperdebatkan (Mulkhan, 2022). 

Untuk memperkuat argumentasinya, Syaikh Munir menegaskan bahwa dalam situasi anomali dan disruptif demikian itu perlu disadari bahwa senyatanya perintah mengikuti ajaran Allah dalam al-Qur’an dan Sunnah di semua zaman, tetaplah sama, yang berbeda adalah konteksnya, situasi objektifnya. Tuntutan sejarah membuat pola dan model hubungan sosial-ekonomi-budaya-politik manusia terus berubah berbeda, semakin liar [disruptif] (Mulkhan, 2022).

Oleh karenanya, Pendidikan Islam perlu menyediakan wadah melalui metode maupun kurikulum pembelajaran yang konkrit untuk diintegrasikan selaras dengan tujuan-tujuan syariah tersebut. Wadah yang dimaksudkan ialah konsep garden learning yang merupakan gagasan orisinil Syaikh Munir. 

Garden Learning 

Dalam obrolan kami bersama Syaikh Munir, konsep garden learning muncul. Beliau menyatakan, idealnya pendidikan perlu menerapkan konsep ini. Syaikh Munir kemudian menjelaskan bahwa sejatinya pembelajaran itu seperti bermain di taman, belajar sambil bermain. Memahami informasi di sekitarnya tanpa lupa posisinya sebagai manusia. 

Konsep garden learning memang terinspirasi dari konsep Taman Siswa Ki Hadjar Dewantara serta konsep Shantiniketan dan Sriniketan Rabindranath Tagore. Namun, konsep garden learning menjadi orisinil sebab Syaikh Munir mengintegrasikan pendekatan-pendekatan pemikiran Islam progresif yang menekankan substansi keislaman dalam penerapan konsep tersebut. 

Secara teknis, Syaikh Munir memberikan contoh penerapan. Misalnya, setiap sekolah atau kampus mendata tempat tinggal murid atau mahasiswa masing-masing. Setiap guru atau dosen diamanahkan untuk membimbing sekitar 10 atau bahkan lebih. Setiap seminggu sekali, mereka berkumpul, berdiskusi, bercengkrama layaknya kawan sendiri, bahkan guru atau dosen perlu untuk menyambangi murid atau mahasiswa di kediamannya masing-masing sebagai bentuk kepedulian seorang pembimbing. Pada akhirnya, penerapan konsep garden learning beriringan dengan menumbuhkan budaya egaliter di antara sesama guru dan murid.

Walaupun sulit untuk diterapkan karena terdapat beban administratif guru maupun dosen yang cukup menyibukkan, konsep garden learning sedikit demi sedikit bisa diterapkan. Misalnya, di beberapa kampus, konsep dosen pembimbing akademik bertugas untuk memantau dan mengawasi beberapa mahasiswa secara berkala. Namun, sayangnya tugas tersebut hanya sebagai formalitas untuk menyelesaikan beberapa kebutuhan administratif di dalam kampus. Konsep garden learning menekankan perluasan pembelajaran hingga ke luar sekolah atau kampus. 

Konsep garden learning menekankan dimensi egaliter antara guru dan murid. Penerapan budaya egaliter berfungsi untuk memaknai bahwa proses belajar-mengajar itu bukan sekadar transmisi pengetahuan, melainkan juga keteladanan. Akhirnya, baik guru maupun murid tidak terpisah dengan realitas. Namun, mereka juga  tidak melupakan tanggung jawabnya sebagai bagian dari komunitas sekolah yang menuntutnya untuk menyelesaikan tugas-tugas formal. 

Intinya, pembelajaran seyogyanya merupakan proses pengembangan kompetensi peserta didik dalam membaca berbagai sumber, baik itu literatur maupun realitas sosial. Praktik di laboratorium atau ruang sosial-budaya semestinya menjadi sarana untuk mengasah kemampuan tersebut. Namun, dinamika sosial-budaya yang terus berubah dan kompleksitas alam semesta seringkali melampaui pemahaman pendidik.

Praktik pendidikan yang selama ini banyak terjadi cenderung mengedepankan reproduksi pengetahuan yang telah ada. Peserta didik seolah-olah hanya diminta untuk mengikuti jejak para ilmuwan terdahulu tanpa didorong untuk melakukan eksplorasi lebih lanjut. Akibatnya, pendidikan seringkali tertinggal dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dilema ini menuntut kita untuk meredefinisi tujuan dan metode pembelajaran. Meskipun pelestarian nilai-nilai luhur dan warisan intelektual sangat penting, pendidikan tidak boleh terjebak dalam rutinitas dan mengabaikan potensi inovasi. Pembelajaran yang efektif harus mampu menginspirasi peserta didik untuk berpikir kritis, kreatif, dan mandiri. Penerapan garden learning membantu kita untuk mewujudkan tujuan tersebut. 

Tak terasa, arloji telah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Antusiasme Syaikh Munir berdiskusi membuat hati penulis terasa berdebar-debar. Bagaimana tidak? di usianya yang telah senja, beliau masih menyiapkan draft untuk karya terbarunya. Produktifitasnya belum terlihat mengalami kemunduran. Obrolan ditutup, kami pun pamit, sembari mendoakan Syaikh Munir agar sehat dan prima selalu. Kelak, konsep garden learning yang dicita-citakanya itu dapat terwujud.



Prev Post

Fenomena Thrifting: Ditinjau dari Pasal 47 UU No. 7/2014 tentang Perdagangan

Next Post

Sekolah Politik Kebangsaan PC IMM Bantul: Ijtihad untuk Daya Kritis

BACK TO TOP