Anggota Dewan Redaksi PUNDI. Mahasiswa Pascasarjana PAI UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Pecinta motor klasik, kopi, dan buku.
Pendidikan di Indonesia telah berkembang dan beradaptasi dengan berbagai kebijakan serta inovasi untuk meningkatkan kualitasnya. Meskipun demikian, masih banyak tantangan yang harus diatasi untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan.
Tantangan utama dalam mencapai pendidikan yang berkualitas, dinamis, sesuai kebutuhan, dan inklusif adalah kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan, terutama di wilayah terpencil dan terluar. Masalah ini diperparah oleh infrastruktur pendidikan yang belum memadai, kekurangan tenaga pendidik, keterbatasan akses terhadap teknologi informasi, serta meningkatnya biaya pendidikan setiap tahunnya.
Transformasi pendidikan selalu menjadi bahasan menarik dalam usaha mencapai kemajuan suatu bangsa. Ada dua pandangan utama mengenai transformasi pendidikan yang dicanangkan: optimisme dan skeptisisme. Para optimis percaya bahwa pendidikan dapat mempersiapkan generasi Indonesia menghadapi bonus demografi dan era Society 5.0. Sebaliknya, pandangan skeptis melihat pendidikan sebagai alat untuk melanggengkan status sosial-ekonomi yang ada.
Pendidikan di Indonesia cenderung bersifat verbal, naif, dan membosankan, serta masih terjebak dalam budaya otoriter yang mendikte. Sistem pendidikan lebih mengakomodasi anak-anak dari kelas sosial atas dan berprestasi, sementara mengeksklusi mereka yang memiliki keterbatasan intelektual dan ekonomi.
Beberapa mahasiswa baru di perguruan tinggi tahun 2024 dilaporkan mengundurkan diri karena tidak mampu membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT). Menurut laporan Kompas.com (26/05/2024), Naffa Zahra Muthmainnah adalah salah satu mahasiswa yang terpaksa mundur dari Universitas Sumatera Utara (USU) karena masalah tersebut. Selain itu, Tempo.co (18/05/2024) melaporkan bahwa 50 calon mahasiswa baru jalur Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP) 2024 terancam tidak bisa masuk Universitas Riau (Unri) akibat kesulitan membayar UKT.
Pendidikan saat ini tidak lagi dipandang sebagai alat untuk mengembangkan hard skill, soft skill, dan kesadaran sosial. Sebaliknya, fokusnya lebih pada biaya yang harus dikeluarkan, sehingga pendidikan bukan lagi berfungsi sebagai tempat pembentukan generasi yang bermoral dan intelektual. Pendidikan kini lebih sering dianggap sebagai "pabrik" yang menjual kualitas dan peluang kerja.
Meskipun para politisi, kandidat presiden, ahli pendidikan, dan Menteri Pendidikan menunjukkan perhatian besar terhadap masalah pendidikan, berbagai isu masih belum terselesaikan. Biaya sekolah semakin mahal, akses ke perguruan tinggi terbatas hanya untuk kelas ekonomi menengah ke atas, pengangguran meningkat, degradasi moral meluas, dan korupsi di kalangan pejabat negara semakin marak.
Realitas tersebut menunjukkan bahwa pemerintah, masyarakat, orang tua, siswa, dan sektor swasta harus berkomitmen penuh terhadap transformasi pendidikan dengan upaya konkret dan berkelanjutan. Ini termasuk menghilangkan budaya verbal, membangun infrastruktur, serta menciptakan ekosistem yang inklusif dan adil.
Paradigma pendidikan yang berkualitas, inklusif, dan setara harus mengintegrasikan metode pengajaran inovatif, fokus pada pembelajaran aktif dan partisipatif, serta memanfaatkan teknologi. Pendekatan ini akan membuat proses belajar menjadi menarik dan relevan, mengurangi sifat verbal dan membosankan, serta menyeimbangkan pengembangan hard skill dan soft skill.
Pendidikan memberikan peluang yang sama bagi semua siswa, termasuk mereka yang menghadapi keterbatasan ekonomi dan intelektual. Beasiswa, bantuan biaya, dukungan, dan perbaikan infrastruktur diperlukan untuk memastikan akses pendidikan berkualitas merata di semua latar belakang dan lokasi.
Pendidikan harus membentuk generasi yang cerdas, bermoral, dan sadar sosial dengan mengintegrasikan karakter, etika, dan kepedulian sosial dalam kurikulum. Dengan cara ini, pendidikan berfungsi membangun individu yang berkontribusi positif pada masyarakat dan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan.
Perubahan sistem pendidikan memerlukan komitmen dari pemerintah, masyarakat, orang tua, siswa, dan sektor swasta. Reformasi harus berkelanjutan dan berlandaskan keadilan serta inklusi. Fokus utama adalah peningkatan kualitas pendidikan, penghapusan kesenjangan akses, dan penciptaan ekosistem yang mendukung perkembangan optimal setiap individu tanpa memandang latar belakang.
Transformasi pendidikan di Indonesia menghadapi tantangan besar seperti budaya verbal yang membosankan, akses pendidikan yang sulit, dan penurunan komitmen pemerintah, sehingga upaya-upaya yang perlu diperhatikan untuk menjaga keberhasilan transformasi pendidikan meliputi peningkatan kualitas lingkungan belajar, akses yang lebih baik, dan komitmen pemerintah yang konsisten.
Pertama, pendidikan sebagai proses dialogis. Pendidikan sebagai proses dialogis harus mengintegrasikan teknologi untuk memungkinkan guru dan siswa berperan sebagai co-creators inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat, menjadikannya lebih inklusif dan dinamis serta mendorong kolaborasi produktif, dengan guru dan siswa berfungsi sebagai aktivis sosial yang fokus pada pemecahan masalah sosial melalui pendidikan, terlepas dari pengaruh politik atau pemerintah.
Kedua, pemberdayaan melalui kesadaran kritis. Pemberdayaan melalui kesadaran kritis memerlukan pemangku kepentingan seperti pemerintah, masyarakat, dan mahasiswa untuk mengkritisi realitas sosial secara mendalam, sambil membangun komunitas-komunitas belajar yang berfungsi sebagai tempat diskusi, refleksi, dan mobilisasi dukungan untuk akses pendidikan yang lebih baik serta perjuangan keadilan sosial.
Ketiga, mendorong komitmen pemerintah. Kurangnya komitmen pemerintah terhadap akses pendidikan yang inklusif dan adil memerlukan pendekatan strategis dan filosofis, di mana komunitas-komunitas belajar berperan sebagai pengawal kesadaran dan agen aktif untuk menekan pemerintah meningkatkan komitmen mereka, serta memastikan kebijakan pendidikan berorientasi pada keadilan dan inklusi.
Copyright By@PUNDI - 2024
BACK TO TOP