Anggota Dewan Redaksi PUNDI.
Moral dalam Pendidikan di Indonesia sampai saat ini masih banyak hal yang perlu dievaluasi, adanya pendegradasian ini terjadi disebabkan derasnya arus globalisasi yang terjadi pada saat ini. Sehingga, hal-hal yang tidak kita inginkan justru malah terjadi dan semakin besar juga dampak yang terjadi.
Bahkan dalam data sepanjang 2023, sebanyak 30 kasus bullying terjadi dan mayoritas terjadi di tingkat SMP. Data tersebut bersumber dari FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia) bahwa sebanyak 80% kasus perundungan pada 2023 terjadi di sekolah yang dinaungi Kemendikbudristek, dan 20% dinaungi oleh Kemenag.
Berita akhir-akhir ini juga memberikan info mengenai perundungan, bahwa Mahasiswi dari salah satu Universitas Negeri yang melakukan bunuh diri disinyalir diakibatkan perundungan. Dampak yang terjadi begitu luas akibat perundungan ini, perlu adanya sebuah analisa panjang tetapi bisa dijelaskan secara singkat, padat, dan tegas mengenai hal tersebut.
Banyak artikel atau tulisan yang beredar di Internet mengenai pendidikan moral yang dilakukan pada usia dini. Tetapi ketika kita melihat pada realitas sosial saat ini, justru pendidikan moral perlu di berbagai umur, usia, ataupun kondisi. Hal ini perlu, disebabkan peningkatan sarjana yang berada dalam Indonesia berbanding terbalik dengan kondisi moral yang ada.
Kondisi tersebut pernah disinggung oleh Almarhum Buya Syafii Maarif, bahwa dengan adanya fakta bahwa secara kuantitas masyarakat Indonesia banyak yang berhasil menyelesaikan jenjang pendidikan mereka, patut kita berbangga sebagai warga negara. Akan tetapi bagaimana dengan kondisi moral dan afektifnya? Apakah hal tersebut bisa dibanggakan? Dengan kondisi yang memprihatinkan saat ini, justru hal tersebut perlu diperhatikan se intens mungkin.
Transparency International mencatat bahwa pada tahun 2023, Indonesia masuk jajaran lima besar negara terkorup di kelompok ASEAN. Dengan data yang ada, apakah moralitas serta afektif yang ada perlu diabaikan?
Fenomena mengenai degradasi moral yang terjadi pada semua kalangan, disebabkan oleh pendidikan kita yang cenderung dikotomis. Ketika pengajar hanya mengajarkan hal-hal yang sesuai dengan disiplin keilmuannya saja, tetapi mengabaikan nilai dari adanya keilmuan tersebut. Sehingga, dalam kasus tertentu ketika peserta didik melakukan perbuatan yang amoral, maka yang disalahkan adalah guru agamanya. Perlu diketahui, bahwa tanggung jawab moral adalah tanggung jawab bersama, bukan individu ataupun milik institusi tertentu.
Bukan hanya dikotomis saja penyebab degradasi moral tersebut, faktor orang tua juga mempengaruhi hal tersebut. Ungkapan bahwa Al Ummu Madrasatul Ula masih relevan sampai saat ini, tetapi yang perlu diperhatikan adalah bagaimana gaya asuh yang orang tua lakukan sehingga tetap relevan sampai sekarang.
Gaya asuh yang dimaksud adalah bagaimana antara anak dan orang tua mampu mengkomunikasikan hal-hal yang dianggap tabu di zaman mereka. Jika pada zaman dahulu pendidikan seks, kekerasan dalam pergaulan adalah hal yang dianggap tabu, maka perlulah orang tua memberikan pendidikan tersebut kepada anak-anaknya. Bukan tidak mungkin, jikalau komunikasi tersebut diterapkan, maka sang anak akan merasa dimengerti dan diperhatikan juga. Dan dalam memberikan peringatan entah itu larangan atau yang lainnya, orang tua juga perlu memberikan pengertian mengapa hal tersebut dilarang. (Ningrum: 2015)
Sudah kita ketahui bersama, dengan adanya arus penggunaan media sosial yang begitu cepat menjadikan hal ini sebagai salah satu isu yang sensitif. Hal ini perlu kita lihat bahwa media sosial dianggap sebagai pemberi kebahagiaan bagi penggunanya.
Dalam lima tahun terakhir, media-media yang populer seperti Time, Forbes, The Huffington Post, The New Yorker, dan The Daily Mirror telah memberikan info mengenai studi psikologis bahwa media sosial dapat meningkatkan depresi, ketidakpuasaan, kecemburuan, citra tubuh yang negatif, dan kesepian. (Miller: 2016)
Fakta tersebut tidak bisa kita pungkiri bahwa banyaknya sifat-sifat yang bertolak dari moralitas justru terjadi. Apalagi dengan adanya standarisasi kebahagiaan di Media Sosial, yang menjadikan hal tersebut menjadi racun bagi penggunanya. Harus kita akui bahwa hal tersebut merupakan salah satu sumber bagaimana degradasi moral terjadi.
Pengguna media sosial ketika melihat sebuah informasi yang tersebar, seharusnya mereka melakukan sortir terhadap informasi tersebut, tetapi justru kebanyakan langsung menekan informasi tersebut tana mencari tahu kebenaran informasi tersebut.
Standarisasi yang disuguhkan dalam media sosial justru malah memberikan ketidakstabilan dalam emosi. Justru hal tersebut sangat terbalik jika media sosial dianggap bisa memberikan kebahagiaan bagi penggunanya. Bahkan dalam hal media sosial, orang tua juga perlu mengambil andil dalam penggunaan media sosial terhadap anaknya.
Banyaknya kasus negatif yang terjadi akibat degradasi moral, memberikan pertanda bahwa tantangan negara kita saat ini salah satunya adalah moral. Generasi penerus bangsa pada akhirnya perlu diberikan pelajaran utuh mengenai apa itu moralitas, sehingga hal-hal yang kita tidak inginkan dapat diminimalisir dan bahkan dihilangkan.
Negara kita dikenal dengan masyarakat yang paling santun dalam bermasyarakat, tetapi paling tidak santun dalam bermedia sosial. Pembelajaran mengenai moralitas bukan hanya diajarkan pada lingkup masyarakat, tetapi dalam hal digital pun perlu diajarkan. Keutuhan negara dan bangsa bisa diciptakan melalui moralitas yang terjadi dalam masyarakatnya.
Copyright By@PUNDI - 2024
BACK TO TOP