22/08/2024 65

Indonesia Belum Merdeka, Sebab Pendidikan Masih Mahal Harganya

author photo
By M. Amirulloh

Anggota Dewan Redaksi PUNDI.

Pendidikan inklusif diketahui merupakan sebuah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik tanpa pandang bulu, dalam artian semua peserta didik berhak memaksimalkan potensi kecerdasan maupun bakat yang dimilikinya. Hal ini sesuai dengan UU No. 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Dalam pelaksanaanya, pendidikan inklusif bertujuan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik berkebutuhan khusus dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat. Sehingga dalam prosesnya akan ditemukan sebuah sistem saling mengikat antar kultur masing-masing peserta didik. Saya mengira ini bisa dianggap sebagai perwujudan awal dari interkoneksi keilmuan.

Pendidikan inklusif  menurut Stainback (1990) adalah sebuah sistem yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sistem ini menyediakan program yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap peserta didik. Selain menarik potensi dari dalam diri peserta didik, mengembangkan keilmuan dan menambah wawasan menjadi sesuatu yang akan didapat oleh peserta didik dengan sistem ini. Sehingga saya mengira ini menjadi sebuah sistem yang sangat baik apabila diimplementasikan dengan baik oleh sekolah-sekolah yang ada.

Namun sejatinya persoalan pendidikan tidak hanya berkutat di sistem pendidikan saja. Cost pendidikan, bea masuk sekolah, dan kapitalisasi pendidikan masih menjadi momok yang terus menghantui berbagai kalangan, khususnya kalangan menengah kebawah. Salah satu kasus yang menarik terjadi di Boyolali tepatnya di SMPN 2 Boyolali. Dilansir dari surat kabar Jawa Pos Radar Solo yang terbit pada tanggal 24 Juni 2024, dikatakan “sejumlah orang tua murid SMPN 2 Boyolali mengeluhkan adanya tarikan dana untuk sewa bangku sekolah dan buku.”        

Lebih lanjut masih dalam studi kasus yang sama dikatakan rincian biaya sewa bangku per-tahun bisa mencapai Rp 450 ribu pertahun, kemudian sewa buku senilai Rp 12.500 per buku, dalam kasus di atas dikatakan terdapat empat buku yang dipinjamkan kepada peserta didik dalam satu semester, belum lagi dikatakan harus membayar biaya study tour ke bali senilai Rp 1.750.000 dan acara kelas IX ke Jakarta senilai Rp 1,8 juta. Berarti jika dikalkulasikan untuk sewa bangku siswa selama tiga tahun senilai Rp 1.350.000, sewa buku selama tiga tahun senilai Rp 300.000. sehingga ditemukan pengeluaran senilai Rp 5.200.000 dalam tiga tahun sekolah di SMPN 2 Boyolali. Pengeluaran yang besar untuk sekelas sekolah negeri, apalagi setaraf SMP.

Dari kasus di atas saya kira ini sangat menarik sebab bangku dan buku sekolah merupakan fasilitas sekolah yang seharusnya tidak ada pungutan di dalamnya, apalagi untuk sekolah negeri yang sudah dijamin oleh pemerintah melalui bantuan operasional sekolah (BOS). Namun dalam kasus ini terdapat pungutan lain yang saya kira tidak masuk akal. Mungkin akan ditemukan kasus serupa jika kita riset pendidikan di Indonesia lebih jauh. Selanjutnya, kasus yang tidak kalah menggelitik ialah kasus bunuh diri yang dialami seorang mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Prodi Anestasi di Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang. Dilansir dari Detikjateng, mahasiswi itu bunuh diri sebab perundungan yang dilakukan oleh senior kepadanya.

Dalam dunia pendidikan, pembullyan, perundungan, hingga kekerasan, baik verbal maupun non verbal seringkali terjadi. Bahkan hingga menyebabkan tewasnya peserta didik.  Saya kira inilah yang kemudian menjadi hal-hal yang harus diatur oleh pemerintah sebelum kemudian berkelakar dengan mengatakan Indonesia Emas.

Sejatinya Pendidikan inklusif merupakan sistem pendidikan yang baik secara konsep, namun harus selalu dipantau dalam pelaksanaanya, bukan hanya sekedar klasifikasi guru, namun juga mafia-mafia yang memanfaatkan sistem pendidikan untuk kepentingan pribadinya juga harus betul-betul diadili. Kita bisa berbicara tentang Indonesia emas atau Nusantara maju, jika hal ini sudah diatasi dengan baik oleh pemerintah. Namun jika hal ini masih dibiarkan, saya kira hanya akan menjadi omong-omong belaka menjelang pilkada.  

Pendidikan bukan hanya diperuntukan bagi mereka yang mampu, namun pendidikan harus dirasakan oleh semua orang tanpa memandang apapun. Saya tergelitik ketika melihat di salah satu stasiun televisi yang menayangkan proses upacara bendera dengan megah dan gagah di bawah naungan garuda yang tertunduk malu. Semua peserta upacara mengenakan pakaian yang rapi dan mahal pastinya. Saya lihat dari sorotan kamera terdapat para pejabat, pengusaha, hingga artis Jakarta, bukan ibukota, karena ibukota telah pindah katanya. Namun dalam sorotan kamera itu tidak ditemukan tukang becak, atau pedagang yang selalu diblusuki Jokowi tiap kali kunjungan.

Momentum kemerdekaan seharusnya dijadikan sebagai muhasabah bagi para pejabat khususnya wakil presiden Ma’ruf Amin yang notabene seorang ulama. Keberadaan beliau di kalangan petinggi negara seharusnya dimanfaatkan dengan baik dengan memastikan penyetaraan pendidikan untuk semuanya, bukan hanya untuk pesantren dan golongannya saja, dan tentu saja bukan hanya diam sebagai pelengkap kekuasaan.



Prev Post

Memaknai “Micro-curriculum” dalam Implementasi MBKM

Next Post

Meriahkan HUT Kemerdekaan RI ke-79; Mahasiswa KKN UAD Angkat Tema Romusha

BACK TO TOP