-
YOGYAKARTA – Kebijakan penghapusan penjurusan di tingkat SMA menimbulkan sejumlah permasalahan teknis di sekolah. Hal ini terungkap dalam Dialog Jogja Pagi Ini bertema “Urgensi Penjurusan di SMU Diberlakukan Kembali” yang digelar di RRI Pro 1 Yogyakarta, Jumat (13/6).
Prof. Dr. Mami Hajaroh, M.Pd., Guru Besar Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi UNY dan Tim Penasehat Ahli Mendikdasmen, memaparkan bahwa ketika siswa diberikan kebebasan penuh memilih mata pelajaran, sekolah kesulitan memenuhi kebutuhan guru. “Jika satu anak memilih satu pelajaran tertentu, dan jumlah siswa banyak, otomatis sekolah harus menyediakan lebih banyak guru. Sementara tidak mudah untuk menyediakan guru sesuai mata pelajaran yang dipilih”, jelasnya.
Permasalahan lain, lanjut Prof. Mami, adalah adanya mata pelajaran yang tidak diminati siswa. “Guru yang sudah tersedia akhirnya tidak terpakai karena tidak ada siswa yang memilih mata pelajaran tersebut. Ini menjadi dua problem teknis utama di sekolah ketika tidak ada penjurusan”, tegasnya.
Dampak dari kebijakan tanpa penjurusan juga dirasakan hingga ke perguruan tinggi. Siswa yang tidak memiliki dasar keilmuan tertentu, misalnya siswa IPS yang masuk ke jurusan Kedokteran, mengalami kesulitan mengikuti materi yang lebih spesifik dan kompleks di jenjang pendidikan tinggi.
Prof. Mami menekankan, penjurusan bukan sekadar membagi siswa berdasarkan minat, tetapi juga untuk memastikan efisiensi dalam pengelolaan guru dan kesiapan akademik siswa. “Dengan penjurusan, kebutuhan guru lebih terukur dan siswa lebih siap melanjutkan ke perguruan tinggi sesuai bidang yang diminati”, pungkasnya.
Dialog yang juga menghadirkan Dr. Farid Setiawan, S.Pd., M.Pd.I., Direktur Yayasan PUNDI dan Dosen PAI UAD, ini menyoroti pentingnya kebijakan penjurusan sebagai solusi atas berbagai problem teknis di sekolah dan sebagai jembatan menuju pendidikan tinggi yang lebih terarah.
Copyright By@PUNDI - 2024
BACK TO TOP