26/01/2025 813

Warung Kopi dan Kampus: Ruang Diskusi yang Tergadai

author photo
By Fikri Haikal

Anggota Dewan Redaksi PUNDI. Mahasiswa Pascasarjana PAI UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Pecinta motor klasik, kopi, dan buku.

Tulisan ini berangkat dari diskusi saya dengan Fauzi, salah satu kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kota Yogyakarta asal Bima, Nusa Tenggara Barat. Pernyataan yang menarik bagi saya yang disampaikan adalah, “Jika ada satu hal yang menonjol di sekitar kampus-kampus di Yogyakarta, maka itu adalah warung kopi”.

Pernyataan ini yang membawa kami untuk menjaga malam layaknya bapak-bapak yang di pos ronda bermain kartu. Bukan sekadar tempat untuk menikmati segelas kopi, warung kopi kini telah berubah menjadi pusat aktivitas mahasiswa, menggantikan peran ruang diskusi yang seharusnya dimiliki kampus.

Di warung kopi, mahasiswa mengerjakan tugas, berbagi cerita, hingga mengisi waktu luang. Namun, ironisnya, warung kopi juga menjadi simbol dari pergeseran besar yang terjadi di dunia pendidikan mahasiswa: menjauhkan mereka dari peran kritis terhadap realitas kampus dan sistem pendidikan.

Dulu, kampus adalah tempat di mana ide-ide besar diperdebatkan dan solusi atas masalah sosial dicari. Organisasi mahasiswa memainkan peran vital dalam memfasilitasi diskusi-diskusi kritis yang membangun.

Suasana seperti itu kini kian memudar. Di sudut-sudut kampus di Yogyakarta, warung kopi bermunculan dengan desain yang sangat "ramah mahasiswa." Mereka menawarkan lebih dari sekadar kopi; kenyamanan yang mereka suguhkan membuat mahasiswa betah duduk berjam-jam.

Sayangnya, kenyamanan ini sering kali justru menggantikan fungsi diskusi akademik yang melibatkan banyak pihak menjadi sekadar kesibukan individu menyelesaikan tugas atau sekadar bercengkerama santai.

Kecurigaan Kolaborasi Ekonomi

Pertanyaannya, apakah fenomena ini hanya kebetulan semata? Ataukah ada sesuatu yang lebih sistematis di balik maraknya warung kopi di sekitar kampus? Mengingat mahasiswa perantau adalah tulang punggung ekonomi di Yogyakarta, muncul kecurigaan bahwa ada motif ekonomi yang memanfaatkan keberadaan mahasiswa ini.

Mungkinkah kampus memiliki hubungan tak langsung dengan bisnis warung kopi, baik dalam bentuk kesepakatan ekonomi atau sekadar pengalihan perhatian mahasiswa dari isu-isu penting di lingkungan kampus?

Jika benar ada kolaborasi semacam itu, dampaknya tentu sangat mengkhawatirkan. Kebijakan kampus yang tidak berpihak kepada mahasiswa berpotensi diabaikan, sementara perhatian mahasiswa lebih tersita oleh kenyamanan yang diberikan warung kopi.

Skenario ini, warung kopi bukan lagi sekadar ruang santai, melainkan menjadi alat untuk "menjinakkan" mahasiswa. Mahasiswa, yang seharusnya menjadi agen perubahan, justru kehilangan peran kritisnya karena fokus mereka beralih pada rutinitas dan kenyamanan individu.

Mahasiswa sebagai Wisatawan Pendidikan

Fenomena ini juga mencerminkan pergeseran identitas mahasiswa. Mereka yang datang ke Yogyakarta bukan lagi hanya untuk menuntut ilmu, tetapi juga untuk menikmati pengalaman sebagai "wisatawan pendidikan”.

Atmosfer warung kopi, budaya lokal, dan gaya hidup yang khas Yogyakarta menjadi daya tarik yang tidak mereka temui di tempat asal. Akibatnya, tujuan pendidikan sering kali hanya menjadi alat untuk mendapatkan ijazah, bukan sebagai proses untuk memperhalus rasa dan mempertajam pikir, seperti yang diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara.

Ketika kenyamanan menjadi prioritas, mahasiswa mulai kehilangan kepekaan terhadap realitas sosial dan akademik. Warung kopi yang nyaman menjadi "pelarian" dari tantangan akademik dan sosial, dan diskusi-diskusi kritis yang dulu mewarnai kehidupan kampus tergantikan oleh obrolan santai tanpa substansi.

Situasi seperti ini, mahasiswa berisiko hanya menjadi konsumen pendidikan, bukan produsen gagasan yang mampu memberikan perubahan signifikan di masyarakat. Sangat menyebalkan melihat fenomena-fenomena ini. Ingin sekali menghujatnya, entahlah!

Menyelamatkan Pendidikan, Menyadarkan Mahasiswa

Harus diakui bahwa warung kopi tidak harus selalu menjadi ancaman bagi pendidikan. Sebaliknya, mereka bisa menjadi ruang diskusi baru yang relevan dengan kebutuhan mahasiswa zaman sekarang, asalkan ada kesadaran kolektif untuk menjadikan warung kopi lebih dari sekadar tempat bersantai.

Pemilik warung kopi dapat berkolaborasi dengan mahasiswa atau organisasi kampus untuk mengadakan diskusi publik, seminar kecil, atau bahkan acara bedah buku. Dengan cara ini, warung kopi dapat menjadi tempat di mana gagasan-gagasan besar tetap hidup.

Kampus perlu merevitalisasi ruang-ruang diskusi mereka agar dapat bersaing dengan daya tarik warung kopi. Kampus harus menyediakan fasilitas yang nyaman dan mendukung kebutuhan mahasiswa, seperti akses internet cepat, suasana yang ramah, dan ruang yang fleksibel untuk berbagai kegiatan. Dengan demikian, mahasiswa akan kembali memanfaatkan kampus sebagai tempat utama untuk bertukar pikiran dan membangun ide.

Upaya ini tidak akan cukup tanpa perubahan dalam kesadaran mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa harus mengingat kembali peran mereka sebagai agen perubahan dalam masyarakat. Pendidikan tidak seharusnya hanya dipandang sebagai alat untuk mendapatkan gelar, tetapi sebagai sarana untuk memperjuangkan ide-ide baru, memperhalus rasa, dan mempertajam kemampuan berpikir.

Jika mahasiswa dapat melihat warung kopi sebagai bagian dari ekosistem pendidikan mereka, bukan sebagai pelarian, maka warung kopi dapat menjadi tempat untuk merawat tradisi intelektual yang lebih dinamis.

Naasnya, organisasi-organisasi hari ini beralih fungsi sebagai agen konsolidasi untuk meredam situasi gerakan-gerakan yang ada. Organisasi-organisasi ini telah menjadi bagian dari upaya meredam nalar kritis mahasiswa. Akibatnya, kita tidak benar-benar melihat bagaimana pendidikan mampu merekonstruksi struktur sosial ke arah yang lebih baik.

Jika situasi ini terus dirawat, masa depan pendidikan akan sirna. Kampus, warung kopi, dan organisasi, jika tetap berada pada jalur tersebut, membuat mahasiswa lupa akan perannya sebagai agen perubahan. Akibatnya, tidak ada spirit pendidikan sebagai proses menghaluskan perasaan dan mempertajam pikiran. Satu-satunya jalan adalah merekonstruksi kampus, warung kopi, dan organisasi yang demikian.



Tags:

Prev Post

Mengatasi Krisis Identitas Remaja: Kecil, Konsisten, dan Bermakna

Next Post

Antara Idealitas dan Realitas: Penerapan Pendidikan Profetik dalam Sistem Pendidikan Islam Indonesia

BACK TO TOP