19/06/2025 57

Sampah Kita, Dosa Kolektif yang Diwariskan

author photo
By Ashraf Nayif Abdullah

Founder M. A. C. O Corporate

Indonesia kerap disebut sebagai negeri yang kaya raya. Dari laut hingga tambang, dari sawah hingga hutan, kekayaan alam yang terhampar seolah tak berujung. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa potensi lestari perikanan laut Indonesia mencapai 12,54 juta ton per tahun. Di sektor tambang, nilai potensi kekayaan mineral dan energi bahkan ditaksir mencapai Rp200 ribu triliun. Namun, sebuah pertanyaan menggantung di langit-langit kesadaran kita: apakah kekayaan ini menjadikan negeri kita lebih indah dan bermartabat?

Sayangnya, kekayaan itu justru sering kali menghasilkan ironi. Di balik tambang emas dan hasil laut melimpah, kita menyaksikan sungai-sungai yang tercemar, tanah yang teracuni limbah, dan udara yang menebar bau pembusukan. Banyak perusahaan masih abai terhadap tanggung jawab ekologis. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang mengatur pengelolaan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), seperti PP No. 22 Tahun 2021 dan Permen LHK No. 6 Tahun 2021, lebih sering menjadi teks hukum yang mandul dalam pelaksanaan. Limbah pabrik tetap mengalir ke sungai, membunuh ikan dan mengganggu ekosistem, sementara sanksi hukum seperti tak bertaring.

Namun kesalahan tidak sepenuhnya berada di tangan perusahaan atau negara. Masyarakat pun punya andil besar dalam persoalan ini. Dalam UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, larangan membuang sampah sembarangan telah ditegaskan. Tapi siapa peduli? Di banyak sudut kota dan desa, sampah tetap berserakan. Di trotoar, pasar, sungai, bahkan tempat ibadah, kita bisa temukan jejak dari ketidakpedulian kolektif.

Masalah utama kita bukan hanya pada kurangnya aturan, tapi pada absennya kesadaran. Pemerintah membuat regulasi, perusahaan membuat laporan CSR, masyarakat membuat kampanye daur ulang di media sosial, tetapi praktiknya tidak sejalan. Di sinilah kita perlu membangun kesadaran ekologis yang bukan hanya normatif, tapi juga transformatif.

Kesadaran Kolektif

Pertama, pemerintah harus lebih serius. Tak cukup hanya membuat undang-undang. Penegakan hukum harus nyata. Konsep panoptik dalam pengawasan, yakni menciptakan rasa diawasi meskipun tidak selalu diawasi langsung, perlu diterapkan. Pabrik atau individu yang mencemari lingkungan harus merasa bahwa ada sistem yang terus mengawasi, bahwa melanggar hukum akan mendatangkan konsekuensi.

Pemerintah juga perlu memperluas edukasi kepada publik. Banyak warga belum memahami dampak jangka panjang dari perilaku membuang sampah sembarangan. Infrastruktur pengelolaan sampah seperti TPA modern, fasilitas bank sampah, dan daur ulang harus diperkuat. Negara tak boleh hanya menuntut masyarakat berubah tanpa menyediakan sarana yang memadai.

Kedua, masyarakat perlu menjadikan kepedulian lingkungan sebagai bagian dari budaya hidup. Membuang sampah pada tempatnya bukan hanya urusan etika, tapi juga survival. Kita hidup di tengah krisis ekologi global. Banjir, krisis air bersih, polusi udara, semuanya terkait erat dengan persoalan sampah dan tata kelola lingkungan yang buruk. Jika kita terus bersikap acuh, maka kita sedang menabung bencana bagi generasi mendatang.

Kesadaran ini harus dimulai dari rumah dan komunitas. Literasi lingkungan harus ditanamkan sejak dini di sekolah, keluarga, dan ruang-ruang publik. Edukasi harus mengakar, bukan sekadar seremonial. Harus ada perubahan paradigma: bahwa sampah bukan sekadar sisa, tapi bisa jadi sumber daya jika dikelola dengan benar.

Ketiga, perusahaan tak boleh hanya mencari keuntungan. Prinsip bisnis berkelanjutan (sustainable business) bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Penggunaan green product, strategi pemasaran yang mengedukasi konsumen tentang produk ramah lingkungan, serta optimalisasi dana CSR untuk pelestarian lingkungan harus menjadi standar baru. Keuntungan tak boleh dibangun dari kerusakan. Perusahaan yang bijak adalah yang mengerti bahwa lingkungan sehat adalah modal jangka panjang.

Sampah Bukan Warisan

Kita harus mulai mengubah cara berpikir. Sampah bukan sekadar masalah teknis, tapi masalah etis. Ini soal tanggung jawab antar-generasi. Kita tak boleh mewariskan tanah yang tandus, air yang tercemar, dan udara yang beracun kepada anak cucu kita. Investasi terbesar bangsa ini bukanlah emas di perut bumi atau ikan di lautan, melainkan lingkungan hidup yang lestari dan sehat.

Jika kita terus lalai, maka negeri ini hanya akan menjadi etalase kekayaan yang rapuh. Maka dari itu, sudah waktunya kita mengelola sampah secara bijak: sebagai bentuk cinta kepada tanah air, kepada sesama, dan kepada masa depan. Bukan sekadar demi kebersihan hari ini, tapi demi keberlangsungan hidup esok hari.



Tags:

Prev Post

Ketika Rasa Bersalah Tak Kunjung Pergi: Menemukan Ketenangan Lewat Taubat

Next Post

Tangisan di Balik Gerbang Sekolah

BACK TO TOP