Mahasiswa MPAI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Ketika kalender akademik berhenti berdentang dan hiruk-pikuk sekolah mereda, bukan berarti proses pendidikan ikut berhenti. Di saat bel sekolah diam, nilai-nilai kehidupan justru berbicara lebih nyaring. Masa liburan, yang kerap dipersepsikan sebagai jeda belajar, sesungguhnya menjadi ruang strategis bagi pendidikan karakter yang lebih otentik. Pendidikan karakter kini tak bisa hanya diposisikan sebagai pelengkap kurikulum.
Ia adalah inti dari misi pendidikan itu sendiri: membentuk manusia seutuhnya. Dalam konteks ini, keluarga memegang peranan yang tak tergantikan. Dari rumah, anak mengenal arti tanggung jawab, kejujuran, empati, serta bagaimana menyikapi perbedaan dan menyelesaikan konflik.
Tulisan ini mengajak kita merefleksikan ulang bahwa liburan bukan masa kosong, melainkan momen penting bagi keluarga untuk menjadi aktor utama dalam pendidikan karakter anak. Sebagaimana diungkapkan Stephen R. Covey, penulis The 7 Habits of Highly Effective People, pendidikan karakter adalah fondasi dari keberhasilan jangka panjang. Maka, fondasi itu perlu terus dirawat, bahkan ketika lonceng sekolah tak berbunyi.
Pendidikan karakter adalah proses sistematis yang menanamkan nilai-nilai moral melalui pembiasaan, keteladanan, dan pengalaman nyata. Karakter bukan sekadar pelajaran, melainkan gaya hidup yang dibentuk sejak dini dan diterapkan dalam keseharian. Pandangan Lawrence Kohlberg tentang tahapan perkembangan moral menegaskan bahwa karakter terbentuk lewat interaksi sosial yang berulang dan bermakna dimulai dari rumah. Di titik ini, peran orangtua sebagai fasilitator nilai menjadi sangat krusial.
Karakter yang kuat memberi pondasi untuk ketangguhan hidup. Anak yang terbiasa dengan nilai-nilai kejujuran, kerja keras, dan tanggung jawab akan lebih siap menghadapi dunia yang kompleks. Seperti yang dikemukakan Covey, karakter adalah akar dari efektivitas diri. Tanpa akar itu, kecakapan intelektual tidak akan cukup menopang integritas dan kepercayaan diri.
Nilai-nilai karakter tak hanya membentuk perilaku, tetapi juga mempengaruhi kemampuan sosial-emosional anak. Dalam pemikiran Daniel Goleman, kecerdasan emosional seperti kemampuan berempati, mengelola emosi, dan bekerja sama merupakan faktor penting dalam kesuksesan anak di masa depan. Disinilah pendidikan karakter berkelindan erat dengan kesiapan sosial dan psikologis anak.
Sekolah telah banyak berinovasi dalam menanamkan nilai-nilai karakter. Melalui program seperti Gerakan Literasi Sekolah, Profil Pelajar Pancasila, hingga pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, siswa diajak mengenali nilai luhur bangsa.
Namun, realitas menunjukkan bahwa keterbatasan waktu, beban akademik, serta variabel lingkungan luar membuat pendidikan karakter di sekolah seringkali tidak dapat menjangkau aspek yang lebih mendalam. Covey menegaskan bahwa kebiasaan baik hanya bisa tumbuh dalam lingkungan yang konsisten. Maka, peran rumah sebagai penopang nilai menjadi tidak terelakkan.
Jauh sebelum anak mengenal guru dan ruang kelas, rumah adalah sekolah pertamanya. John Locke menyebut anak sebagai "tabula rasa" kertas kosong yang mulai ditulis dari pengalaman awal bersama keluarga. Selanjutnya nilai-nilai sopan santun, kejujuran, dan empati pertama kali dikenalkan.
Liburan membuka ruang interaksi yang lebih leluasa antara orangtua dan anak. Ini adalah kesempatan emas menanamkan nilai secara alami. Kegiatan sosial seperti bakti sosial atau berbagi dengan sesama mengembangkan rasa empati. Kegiatan domestik seperti berkebun, memasak, atau membersihkan rumah mengajarkan kerjasama dan tanggung jawab. Covey mengatakan, karakter terbentuk dari keputusan-keputusan kecil yang dilakukan berulang. Maka, kebiasaan sederhana dalam keluarga bisa menjadi mata rantai penting dalam pendidikan karakter jika dilakukan secara sadar dan konsisten.
Anak belajar paling efektif melalui pengamatan. Keteladanan orangtua dalam bersikap sabar, meminta maaf, menepati janji lebih kuat dari sekadar nasihat. Selain itu, komunikasi yang terbuka dan penuh empati seperti yang disarankan Maria Montessori, memungkinkan anak tumbuh dalam suasana yang penuh kepercayaan dan keterbukaan.
Liburan tidak harus dipenuhi kegiatan hiburan semata. Kunjungan ke tempat bersejarah, museum, atau proyek kerajinan dapat menjadi medium pembelajaran karakter. Yang terpenting adalah melibatkan anak dalam proses berpikir dan berkarya bersama.
Tak semua pelajaran butuh ruang kelas. Membantu menyiapkan makanan, berdiskusi tentang berita, atau menyelesaikan konflik saudara bisa menjadi laboratorium nilai yang sesungguhnya. Kuncinya terletak pada kepekaan orangtua dalam memaknai setiap momen. Liburan tetap harus menyenangkan. Namun, kebebasan harus dibarengi tanggung jawab. Dengan mengatur keseimbangan antara waktu layar, waktu bersama keluarga, dan waktu produktif, pendidikan karakter dapat berjalan berdampingan dengan kegembiraan.
Sebagai langkah strategis, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah meluncurkan Program 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat untuk menumbuhkan karakter melalui pembiasaan harian. Program ini sangat relevan diterapkan selama liburan karena memberi panduan konkret bagi keluarga dalam membentuk rutinitas yang bermakna.
Pertama, Bangun Pagi: Melatih kedisiplinan dan semangat.
Kedua, Beribadah: Membentuk landasan moral dan spiritual.
Ketiga, Berolahraga: Menjaga kesehatan dan semangat hidup.
Keempat; Makan Sehat dan Bergizi: Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya gizi.
Kelima; Gemar Belajar: Merangsang rasa ingin tahu dan tanggung jawab belajar.
Keenam; Bermasyarakat: Meningkatkan kepedulian sosial dan keterlibatan komunitas.
Ketujuh; Tidur Cepat: Melatih disiplin dan menjaga ritme tubuh.
Jika diterapkan secara konsisten, tujuh kebiasaan ini menjadi kurikulum karakter yang membumi dan bisa dipraktekkan oleh siapa saja. Ini sejalan dengan prinsip Covey bahwa karakter dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang dilakukan secara sadar dan berulang.
Copyright By@PUNDI - 2024
BACK TO TOP