07/02/2025 617

Hai Maslow, Kenapa Bertuhan Tidak Masuk Kebutuhan Manusia?

author photo
By Hatib Rachmawan

Dewan Penasihat PUNDI. Dosen Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Bergerak di bidang perbukuan sebagai Direktur UAD Press.

Abraham Maslow merupakan arus baru psikologi modern. Teorinya yang paling terkenal adalah teori tentang kebutuhan manusia untuk lebih maju. Teorinya ini menjadi rujukan semua motivator dalam mengolah prestasi manusia.

Namun anehnya, kenapa dari sekian kebutuhan tersebut bertuhan tidak menjadi satu alasan untuk manusia biar berprestasi? Apakah manusia sudah tidak butuh Tuhan dalam hidup ini untuk maju? Atau jangan-jangan setelah manusia mengenal Tuhan, dia jadi enggan berprestasi di dunia karena sudah berharap akhirat?

Teori Maslow dan Spiritualitas

Maslow menyusun teori hierarki kebutuhan manusia dalam bentuk piramida, dari kebutuhan dasar hingga kebutuhan aktualisasi diri. Piramida ini terdiri dari lima tingkatan: (1) Kebutuhan fisiologis (makan, minum, tidur); (2) Kebutuhan keamanan (perlindungan, stabilitas); (3) Kebutuhan sosial (cinta, hubungan, komunitas); (4) Kebutuhan penghargaan (status, pengakuan, prestasi); (5) Kebutuhan aktualisasi diri (pengembangan potensi, kreativitas, makna hidup).

Namun, dalam perkembangannya, Maslow menyadari ada kebutuhan yang lebih tinggi dari aktualisasi diri, yang disebut kebutuhan transendensi. Ia menyebut bahwa ada manusia yang sudah mencapai keberhasilan duniawi tetapi merasa belum cukup. Mereka membutuhkan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri, yakni spiritualitas atau pengalaman transendental.

Namun, teori ini kurang populer dibandingkan hierarki kebutuhan manusia. Maslow sendiri menyadari bahwa spiritualitas sulit diukur secara ilmiah, sehingga banyak ilmuwan psikologi mengabaikannya.

Di sinilah letak permasalahannya. Apakah kebutuhan manusia akan Tuhan merupakan kebutuhan dasar atau kebutuhan tertinggi? Jika itu kebutuhan tertinggi, mengapa tidak masuk dalam piramida awal Maslow? Jika itu kebutuhan dasar, mengapa tidak semua orang merasa membutuhkannya?

Bertuhan dan Alasan Untuk Maju

Banyak ayat dan hadis yang memerintahkan manusia untuk maju dan hidup lebih baik. Namun mengapa orang bertuhan tidak mampu memberikan manusia dorongan untuk hidup lebih maju?

Yang jelas, penelitian Maslow tidak masuk pada wilayah keyakinan yang sifatnya individualistik. Menurutnya, spiritualitas tidak mampu diukur secara objektif. Spiritualitas merupakan pengalaman subjektif yang hanya memberikan pengaruh pada individu yang meyakininya.

Namun, psikologi modern sebenarnya tidak sepenuhnya menolak peran agama dan spiritualitas. Carl Jung, misalnya, menekankan bahwa manusia memiliki dorongan arketipal untuk mencari makna di luar dirinya, yang sering kali diekspresikan dalam bentuk agama dan spiritualitas. Jung menyebut bahwa manusia memiliki ketidaksadaran kolektif yang memengaruhi kebutuhan spiritual mereka (Manusia dan Simbol-simbol, 2018).

Viktor Frankl, dalam logoterapinya, juga menegaskan bahwa manusia tidak hanya mencari kebahagiaan atau kepuasan kebutuhan dasar, tetapi juga mencari makna hidup. Frankl yang merupakan penyintas kamp konsentrasi Nazi melihat bahwa mereka yang bertahan hidup bukan hanya yang kuat secara fisik, tetapi yang memiliki harapan dan makna dalam hidup mereka (The Will to Meaning, 2020).

Jika dilihat lebih luas, bahwa agama sebenarnya memberikan motivasi untuk maju. Namun, motivasi itu tidak selalu dalam bentuk dorongan duniawi seperti kekayaan dan status, melainkan dalam bentuk nilai-nilai kehidupan yang lebih dalam.

Kebutuhan Terhadap Tuhan

Apakah Tuhan butuh manusia? Atau manusia yang butuh Tuhan? Jelas Tuhan tidak butuh manusia. Tuhan juga tidak butuh disembah. Melainkan, manusia yang butuh Tuhan. Manusia yang butuh kekuatan lain di luar dirinya. Kekuatan serba Maha itulah yang bermanfaat dan menjadikan manusia hidup lebih bermartabat.

Dalam kajian neurosains, dijelaskan bahwa otak reptil berfungsi untuk bertahan hidup. Otak reptil ini yang membuat manusia bisa menghadapi bahaya dari luar dirinya. Kalau bahaya itu mengancam dirinya, otak reptil akan memberikan dua opsi: Pertama, Fight (melawan) jika mampu. Kedua, Flight (melarikan diri) jika tidak mampu.

Namun, karena manusia diberi akal, maka ada opsi ketiga: negosiasi, diplomasi, kolaborasi, dan kompromi. Inilah kehebatan manusia karena ada akal yang mereproduksi bahasa. Sehingga ada konsep win-win solution.

Di sisi lain, Paul Bloom, seorang psikolog kognitif, menyebut bahwa manusia sejak kecil memiliki kecenderungan untuk percaya pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak memiliki intuisi tentang adanya keberadaan yang lebih besar—ini disebut sebagai teori pikiran teleologis (Descarte’s Baby, 2004).

Lalu, jika manusia secara biologis sudah memiliki mekanisme untuk bertahan hidup, bekerja sama, dan berpikir rasional, di mana letak kebutuhan mereka terhadap Tuhan?Jawabannya adalah pada makna dan pembebasan dari ego.

Mari kembali ke pertanyaan sebelumnya. Bahwa yang butuh Tuhan itu manusia. Dalam salah satu ayat, Tuhan berkata: "Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku."

Kata ibadah di dalam ayat artinya penghambaan, kepasrahan total kepada Tuhan. Individu yang mengabdikan dirinya kepada Tuhan, maka dia akan mampu melepaskan diri dari penghambaan kepada dunia.

Namun, dalam kehidupan modern, banyak manusia yang mengganti "Tuhan" dengan bentuk lain: uang, kekuasaan, atau ketenaran.

Erich Fromm, dalam bukunya To Have or To Be (2012), membedakan antara manusia yang hidup dalam mode memiliki (having) dan mode menjadi (being). Manusia yang terus menerus mengumpulkan harta dan kekuasaan cenderung terperangkap dalam siklus tanpa akhir, yakni manusia having.

Orang yang kaya, berpangkat, dan terkenal sering kali tidak merasa cukup. Mereka terus mencari lebih banyak, karena mereka merasa ada sesuatu yang masih kosong. Kekosongan itu adalah makna dan keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Bagaimana Prosesnya?

Selama merasa bahwa prestasi itu hasil dari kuasa diri sendiri, bisakah diri kita melihat bahwa ada kuasa Tuhan? Jika yakin dengan kuasa Tuhan, maka tanyakan pada diri kita: mampukah Tuhan mengambil seluruh harta kita, hasil prestasi kita dalam sekejap?

Jangan katakan tidak. Tuhan sangat kuasa. Seberapa pun kuat manusia—bahkan dengan kekuatan super power, kekuasaan, dan harta—semuanya dapat hilang dalam sekejap.

Hal ini sudah dibuktikan dalam sejarah. Firaun, Namrud, dan Kaisar Romawi yang dulu memiliki kekuasaan tak terbatas, pada akhirnya runtuh. Kekaisaran besar seperti Persia, Ottoman, dan Mongol pun mengalami kejatuhan.

Maka manusia hanya bisa memanfaatkan prestasinya itu untuk nilai yang paling berharga, yakni kemanusiaan. Kebermanfaatan bagi orang lain. Itulah kebutuhan paling tinggi, yang terlupakan oleh Maslow. Kebutuhan tertinggi ini hanya didapat ketika dalam diri manusia sudah pasrah total pada Sang Maha Kuasa. Ya, cuma itu.

Sebuah Refleksi

Muhammad saw diangkat jadi Rasul bukan di tengah kemiskinan. Melainkan di puncak kesuksesannya. Hidup kaya raya, beranak pinak. Disegani dan dihormati. Namun, di puncak prestasinya itulah risalah kenabian turun.

Jika bukan karena motivasi ilahiyah, mungkin dia hanya duduk dan menikmati hidup tanpa harus susah payah.

Karena itulah manusia dengan segala motivasi untuk sukses, dia juga butuh Tuhan. Paling tidak, Tuhan menjadi teologi harapan (theology of hope), seperti yang dikatakan Erich Fromm. Dengan berharap pada Tuhan, paling tidak kelemahan dirinya bisa bangkit lagi.

Namun setelah semua prestasi didapat manusia, agar tidak diperbudak, kehadiran Tuhan yang Maha Kuasa itu membuat manusia sadar bahwa ternyata dirinya belum mampu mengendalikan semua yang didapat. Hadirnya Tuhan untuk membebaskan keangkuhan tersebut.


Prev Post

Sinergi Sekolah Muhammadiyah untuk Maju Bersama

Next Post

Literasi Digital untuk Anak Sekolah Tanpa Harus Kehilangan Karakter

BACK TO TOP