08/02/2025 100

Manusia Tak Lagi Bisa Duduk Tenang

author photo
By Mukhamad Fadhir

Guru Bimbingan & Konseling SMP Muhammadiyah 10 Yogyakarta

Coba perhatikan orang-orang di sekitar Anda. Di kafe, di halte bus, atau bahkan di meja makan bersama keluarga. Jarang sekali ada yang bisa duduk diam tanpa menyentuh ponselnya. Seolah-olah ada dorongan tak terlihat yang memaksa mereka untuk segera membuka layar, mengecek notifikasi, membaca pesan di WhatsApp, atau melihat apakah ada yang memberi like pada unggahan mereka hari itu.  

Jika tidak menemukan apa-apa, muncul perasaan kosong. "Tidak ada yang peduli padaku," bisik suara di kepala. Kekecewaan merayap masuk, menyisakan rasa hampa yang sulit dijelaskan. Padahal, tidak ada yang benar-benar berubah dalam hidupnya. Namun, tanpa notifikasi atau interaksi di dunia maya, ia merasa tak berarti. Jika Anda pernah merasakan hal ini, ada baiknya Anda mulai waspada. Itu tanda bahwa Anda sedang sakit—bukan sakit fisik, tetapi sakit secara psikologis.  

Dopamine Addiction dan Manusia yang Terasing

Fenomena ini dikenal sebagai Dopamine Addiction, sebuah kondisi di mana seseorang menjadi kecanduan terhadap reward instan yang diberikan oleh media sosial. Setiap kali kita mendapat like, komentar, atau pesan baru, otak melepaskan dopamin, zat kimia yang menciptakan perasaan senang dan puas. Sayangnya, otak manusia bekerja seperti mesin yang semakin lama semakin haus akan dosis lebih besar. Ketika tak ada notifikasi, otak merasa kehilangan sesuatu. Rasa gelisah muncul, dan tanpa sadar tangan kembali menggulir layar, mencari sesuatu yang bisa memberi kepuasan sesaat.  

Di sinilah letak keterkaitan fenomena ini dengan konsep keberadaan dan keterasingan yang pernah dikemukakan oleh filsuf eksistensialis Jean-Paul Sartre. Sartre berpendapat bahwa manusia sering merasa terasing karena tidak diakui oleh orang lain. Kita tidak cukup hanya ada—keberadaan kita harus divalidasi oleh respons orang lain.  

Dulu, keterasingan ini terjadi dalam hubungan sosial konvensional. Kini, keterasingan hadir dalam bentuk yang lebih modern: tidak muncul di media sosial seolah berarti tidak ada dalam realitas sosial. Saat seseorang berhenti mengunggah sesuatu, ia merasa seperti hilang dari kesadaran kolektif. Tidak ada yang memperhatikan. Tidak ada yang tahu keberadaannya. Ini adalah ketakutan eksistensial baru di era digital.  

Sartre pernah berkata, L’enfer, c’est les autres—"Neraka adalah orang lain." Di media sosial, ini bisa diterjemahkan sebagai "Neraka adalah ketiadaan interaksi digital." Kita takut menjadi tak terlihat. Takut tenggelam dalam lautan unggahan orang lain yang lebih menarik. Takut tidak diingat. Inilah sebabnya manusia modern terus-menerus memproduksi konten, membangun persona digital, dan menggantungkan nilai dirinya pada respons orang lain.  

Ketergantungan Digital yang Tak Disadari

Dr. Anna Lembke dalam bukunya Dopamine Nation (2021) menjelaskan bahwa masyarakat modern mengalami overstimulasi dopamin. Kita tidak lagi bisa duduk diam. Belum satu menit tanpa ponsel, tangan sudah gatal ingin mengecek layar. Media sosial melatih kita untuk selalu menunggu sesuatu, mengharapkan kejutan kecil dalam bentuk notifikasi.  

Bahkan, penelitian Microsoft (2015) menunjukkan bahwa rentang perhatian manusia kini hanya 8 detik—lebih pendek dari ikan mas! Otak kita terus-menerus mencari stimulus baru. Akibatnya, kita kehilangan kemampuan untuk fokus, bekerja, atau sekadar menikmati momen tanpa gangguan.  

Masalahnya, ketergantungan ini tidak hanya mengganggu produktivitas, tetapi juga mengikis kebahagiaan kita secara perlahan. Studi dari Jean Twenge (2018) menemukan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan meningkatkan risiko depresi hingga 66% pada remaja. Saat kita menggantungkan kebahagiaan pada jumlah like atau komentar, kita mudah kecewa ketika angka-angka itu tidak sesuai harapan.  

Jalan Keluar dari Perangkap Dopamin dan Keterasingan

Dopamine addiction adalah salah satu penyakit manusia modern yang tidak banyak disadari. Namun, ada jalan keluar.

Pertama, Puasa Digital. Sesekali, cobalah detoks dopamin. Sehari tanpa media sosial. Seminggu tanpa TikTok. Anda akan terkejut betapa banyak waktu yang sebenarnya Anda miliki.  

Kedua, Matikan Notifikasi yang Tidak Perlu. Jangan biarkan ponsel Anda mengendalikan hidup Anda. Anda tidak perlu tahu setiap kali seseorang mengunggah foto baru atau membalas komentar.  

Ketiga, Temukan Sumber Dopamin yang Sehat. Alihkan kesenangan dari media sosial ke aktivitas nyata: olahraga, membaca buku, atau sekadar ngobrol langsung dengan teman.  

Keempat, Latihan Mindfulness. Belajar menikmati momen tanpa gangguan digital bisa membantu otak kita kembali ke pola normalnya.  

Kelima, Menyadari bahwa Eksistensi Tidak Ditentukan oleh Media Sosial. Anda tetap ada, meski tanpa unggahan, tanpa notifikasi, tanpa validasi digital. Eksistensi tidak memerlukan like. Sartre mungkin benar bahwa kita membutuhkan pengakuan orang lain, tapi bukan berarti kita harus mencarinya di dunia maya yang penuh kepalsuan.  

Kebahagiaan sejati tidak terletak pada jumlah notifikasi yang kita terima, tetapi pada bagaimana kita menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Sesekali, letakkan ponsel Anda. Duduklah dengan tenang. Dengarkan suara sekitar. Rasakan keberadaan Anda tanpa perlu validasi digital.  

Karena pada akhirnya, Anda berharga bukan karena jumlah like, tetapi karena Anda ada.



Prev Post

Literasi Digital untuk Anak Sekolah Tanpa Harus Kehilangan Karakter

Next Post

Kekerasan Fisik Masih Menghantui Dunia Pendidikan di Indonesia

BACK TO TOP