25/02/2025 427

Pendidikan: Masuk dalam Posisi Mengenaskan

author photo
By Akmal Basyir

Lulusan Prodi Pendidikan UMY

Dulu saya berharap dunia pendidikan ramai dibahas orang. Saya anggap bahwa itu indikator kita peduli pada  dunia pendidikan. Peduli dan sadar akan pentingnya dari proses penyelenggaraan, implementasi kebijakan yang kontekstual, sampai dengan evaluasinya. Mulai dari muatan pelajaran sampai dengan hal yang teknis sekalipun.

Tapi dewasa ini, ramainya dunia pendidikan sangat disayangkan. Hanya membahas seputar makan bergizi gratis yang dalam hal ini, harus memangkas dana dari banyak kementrian. Saya maksudkan tulisan ini bukan anti terhadap makan bergizi. Tapi dalam hal yang lebih luas, masih banyak persoalan yang berkaitan dengan pendidikan. Seperti pengadaan buku gratis, infrastruktur bangunan yang memadai untuk praktik, pendanaan riset yang masih kurang, gaji guru yang belum layak, dan beberapa hal lain seperti yang kamu lihat.

Masalah pemangkasan anggaran yang dibungkus dalam diksi ‘efisiensi’ menjadi hal yang perlu diperhatikan. Jangan sampai kita sebagai warga negara terus-menerus dikelabui. Pemerintah sering kali memakai kata ‘diamankan’ yang kadang kala berarti dipukul. Kemudian memakai kata ‘dibina’ yang kadang kala berarti disiksa. Hingga beberapa kata yang lain

Hal ini masuk dalam kategori kekerasan budaya dalam konteks berbahasa. Bahasa yang digunakan pemerintah kerap digunakan sebagai legitimasi atas tindakan yang represif. Menjadi kekerasan yang ganda. Sudahlah mendapatkan kekerasan berbahasa, harus mengalami kekerasan fisik pula.

Kembali pada frasa efisiensi yang sebetulnya adalah untuk membredel dana kementrian lain. Hal ini merupakan arogansi yang datatng dari pemerintah. Alih-alin menambahkan kekurangan dana pada tiap kementrian, justru malah banyak dikurangi atas nama efisiensi demi makan bergisi gratis.

MBG Bukan Solusi

Sekali lagi, saya tidak anti terhadap makan bergizi gratis yang digencarkan oleh pemerintah. Tetapi hal yang menarik di sini adalah, ternyata sedari awal program MBG, makan pun ternyata perlu untuk diuji coba. Bagaimana kita menilai dalam konteks uji coba sesuatu yang setiap hari kita lakukan. Apa yang menjadi istimewa pada MBG sehingga perlu diuji coba? Apakah ada variasi atau tambahan gerakan pada kebiasaan kita makan, atau ada ritual tertentu supaya bisa MBG?

Bagaimana misalnya kalau pemerintahan diuji coba dulu selama 100 hari. Kalau buruk perlunya dievaluasi, kalau sangat buruk berarti pemilu ulang. Kalau bagus ya, memang sudah seharusnya. Kemudian jika ada yang bertanya kapan kiranya pemerintahan mendapatkan apresiasi. Jawaban saya adalah ketika pemerintah bisa melampaui kewajibannya sebagai pelayan rakyat. Ia bisa melampaui tupoksi dalam kesehariannya. Rela berkorban lebih pada waktu maupun materinya agar rakyat tidak merasa kesusahan, terpenuhi kebutuhan hajat hidupnya, tidak bingung mau melapor ke siapa ketika menemui suatu masalah.

Kemudian pada saat yang sama, dampak dari efisiensi ini ternyata menimbulkan masalah yang baru. Satu anak dapat makan siang, satu kepala keluarga terkenah PHK karena anggaran negara dialihkan. Satu anak mendapati perut yang kenyang, pada saat bersamaan satu keluarga kelaparan karena terputusnya pekerjaan kepala keluarga.

Maka dari itu, program MBG perlu kiranya untuk dikaji kembali supaya keadilan sosial benar-benar diimplementasikan tanpa adanya ambisi penguasa pada satu program. Penulis tidak akan menyebut angka secara spesifik pada tulisan ini, tetapi adanya efisiensi anggaran berdampak buruk pada beberapa kementrian dan persoalan, terutama dalam konteks pendidikan. Karena tidak semua persoalan dalam pendidikan, solusinya adalah MBG.

Menyoal 20%

Perintah atau amanat yang harus dituntaskan dan dirawat oleh pemerintah ke depan adalah, tetap memberikan dana pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN. Hal ini dapat kita saksikan pada pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945. Tidak hanya pemerintah pusat, pemerintah daerah pun memiliki kewajiban sebagai pengelola dana daerah untuk merawat pendidikan. Tidak hanya menyoal persentase anggaran, lebih dari itu, diwajibkan untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Persentase 20% itu adalah sekurang-kurangnya dana belanja untuk memastikan keberlangsungan dunia pendidikan. Dana tersebut yang seharusnya ditambah untuk kepentingan riset guna menunjang tujuan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, malah dipangkas atas nama efisiensi. Dana yang seharusnya ditambah untuk kesejahteraan guru serta inovasi pembelajaran, dipangkas demi untuk makan.

Untuk coba mengurai masalah turunan dari efisiensi yang pertama, penulis tidak akan menyebutkan atau menyertakan angka yang pasti. Tapi mari coba kawan bayangkan misalnya jika pemangkasan tersebut ternyata mengakibatkan dana pendidikan kurang dari 20%. Hal yang demikian adalah pemerintah telah melukai janji suci yang tertera pada UUD. Perlunya dilakukan audit publik atau transparansi untuk memastikan hal tersebut tidak dilanggar.

Kedua, kurangnya investasi pada dunia pendidikan memunculkan masalah baru. Mengakibatkan minimnya kompetensi pada sumber daya manusia karena kesulitan mengakses buku gratis, pusat studi penelitian berkurang dananya, dan riset terhambat karena masalah dana, serta kurangnya kompetensi dan daya saing pada tataran tenaga kerja. Menurunnya kualitas pendidikan tidak hanya dialami oleh peserta didik, tetapi pendidik juga terkena dampaknya. Pendidik akan terus mencari tambahan penghasilan setelah dan mungkin saja pada saat bersamaan dalam mengajar. Fokus pendidik yang terpecah untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak bisa kita andalkan untuk memajukan kualitas pembelajaran. Tidak hanya focus, mungkin saja pelatihan bagi tenaga pendidik akan ditiadakan.

Ketiga, terjadinya ketimpangan yang terus dilanjutkan oleh pemerintah. Setiap tahun alih-alih menuntaskan masalah satu-persatu, malah cenderung menambah masalah yang baru. Dana selalu akan berpusat pada daerah perkotaan. Sedangkan daerah terpencil akan tetap susah mengakses pendidikan yang layak. Sudahlah pendidikan semakin timpang dan susah diakses, dalam kondisi tertentu harus bayar demi mendapatkan pendidikan. Pendidikan hari ini, telah masuk dalam posisi yang mengenaskan.





 


Prev Post

Himpusma Gelar Pelatihan Kepenulisan bagi Pustakawan Sekolah Muhammadiyah se-Kota Yogyakarta

Next Post

Kelas Tarjih PC IMM Djazman Al Kindi Yogya Cetak Kader Siap Kembali ke Masjid

BACK TO TOP